Di balik kisah pilu yang menyertainya, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) adalah sebuah gagasan baru kaum seni tanah air. Seperti yang dikemukakan di awal buku, Lekra muncul atas keprihatinan seniman terhadap Indonesia yang pada saat itu belum lepas sepenuhnya dari penjajah. Buku yang disusun dari laporan Majalah TEMPO ini menyajikan sisi lain perkembangan seni di Indonesia yang mengawinkan kegandrungan para artis lengkap dengan gaya hidupnya serta ‘perselingkuhan’ dengan tokoh-tokoh politik PKI pasca revolusi 1950.
Lahir di tengah gejolak revolusi yang masih menggelora, lembaga seni rakyat ini dibentuk untuk membangun sisi kebudayaan negeri. Semangat nasionalisme yang begitu tinggi melatarbelakangi para seniman untuk berkumpul dan bergerak bersama dalam satu wadah yang kemudian menjadi sebuah gebrakan baru di dunia seni tanah air.
Di masa awalnya, Lekra begitu dicinta. Seniman dari berbagai kelas berduyun-duyun bergabung. Konsep seni prorakyat ini menjadi magnet tak terbendung, yang lantas menjadikan Lekra naik pamor dalam waktu singkat. Lekra bukan sekadar media hiburan rakyat, Lekra adalah gelora kecintaan terhadap karya seni dan negeri.
Kedekatan dengan PKI membuat Lekra dicap sebagai onderbouw partai berlambang palu arit tersebut. Meski hal ini ditolak oleh beberapa tokoh Eks Lekra, nyatanya Lekra berperan penting dalam kejayaan PKI menjadi salah satu partai masif kala itu. Begitu PKI digdaya, Lekra juga menjadi yang utama. Seniman yang bukan Lekra dipinggirkan.
Dengan berakhirnya era PKI di tangan Orde Baru, berakhir pula jejak kebudayaan Lekra. Semua orang yang berhubungan dengan lembaga itu diringkus, ada yang dibuang ke pulau, dan tak jarang juga dibunuh. Karya-karya seniman Lekra sebagian besar lenyap, mulai dari lukisan hingga sastra puisi. Hilangnya sejumlah sejarah Lekra berikut bukti karyanya ini akhirnya menyulitkan perkembangan studi mengenai kiprah seni di Indonesia.
Penuturan romantisme seniman Lekra di masa jayanya sekaligus kisah getirnya menjadi menu utama buku ini. Minimnya catatan sejarah tentang Lekra akibat pemberangusan literatur berbau kiri di era Orde Baru, kisah-kisahnya kini hanya bersisa pada eks Lekra yang masih hidup sampai sekarang. Dan tentu saja, kisah Lekra versi Tempo ini tak lepas dari penuturan narasumber Amarzan Loebis, Redaktur Senior TEMPO yang juga eks seniman Lekra.
Muhammad Fahmi Alby
Tambahkan Komentar