Toriq Hadad : Sebuah Mimpi tentang IPB Baru

Tempointeraktif.com

ANEKDOT ini sering saya dengar. “Sarjana IPB bisa bekerja apa saja dan di mana saja, kecuali di bidang pertanian.” Sebagai alumnus IPB tentu saya tersindir, tapi segera bisa memakluminya melihat betapa tertinggalnya pertanian kita sekarang. Beras, jagung, kedelai, gandum, singkong, dan hampir semua produk holtikultura kita impor. Lalu daging sapi, daging ayam, gula, bahkan garam pun kita perlu impor. Indonesia merupakan negara agraris terbesar di Asia Tenggara, tapi sekaligus pengimpor bahan pangan terbesar di kawasan ini. Pengembangan teknologi pertanian kita agaknya sudah jauh di belakang Thailand dan Malaysia.

IPB sulit mengelak dari tanggungjawab atas keadaan ini, setidaknya tanggungjawab moral sebagai satu-satunya perguruan tinggi yang berani mencantumkan “pertanian” sebagai nama dirinya. Apalagi sekian tahun belakangan ini alumnus IPB selalu mendapat tempat terhormat sebagai “panglima” kementerian pertanian. Kesempatan mewarnai pertanian Indonesia dengan dengan “corak IPB” di kementerian penting itu sejauh ini tak kelihatan hasilnya. Malah yang terjadi di kementerian pertanian dewasa ini sungguh jauh dari semangat yang mestinya dibawa dari “kampus rakyat” di Bogor itu: sejumlah kasus yang diduga sarat penyelewengan. Malah warna kementerian itu banyak disinyalir orang ditentukan oleh sebuah partai politik.
Saya memimpikan IPB kembali menjawab tantangan zaman. Ketika pada awal 1960-an produksi beras seret, IPB tampil dengan konsep “bimas” yang mulai dicoba pada tahun 1964. Konsep inilah yang membawa Indonesia swasembada beras, meski kemudian terus merosot menjadi negara pengimpor beras. Tanda-tanda kembali kuatnya peran IPB bukan tak ada. IPB tercatat sebagai penemu beras non padi pertama. IPB juga mencatatkan diri sebagai perguruan tinggi dengan kekayaan paten terbanyak di Indonesia. Bahkan IPB menjadi juara dua dalam kompetisi ilmu dan teknologi pangan Internasional Developing Solutions for Food Technology (IFT) di Las Vegas, Amerika Serikat.
Tapi, dari IPB kita tak hanya berharap setumpuk gelar perlombaan dan tumpukan surat paten. Tugas penting IPB adalah menjadikan segudang gelar dan paten itu menjadi alat dan sarana untuk mengembalikan kejayaan pertanian kita. Artinya, IPB perlu membuka koneksi dengan dunia luar agar kekayaan intelektualnya menjadi produk massal yang berguna bagi masyarakat luas. Hubungan IPB dengan dunia industri dan pasar –titik terlemah IPB selama ini menurut saya – perlu serius diperbaiki. Tanpa perlu menunggu uluran tangan pemerintah, IPB saya yakini sanggup menggagas banyak hal untuk mendongkrak produksi pangan, dengan bekerjasama dengan banyak kalangan.
Yang diperlukan hanyalah keterbukaan menerima masukan, saran, kritik, dan inovasi dari semua pihak, terutama dari luar kampus. Termasuk, kesediaan menerima nakhoda tertinggi dari luar kampus. Maka, kesan bahwa IPB sekarang terlalu inward looking perlu diubah menjadi outward looking. Mengubah fokus perhatian ke luar ini membutuhkan sejumlah prasyarat, misalnya kesiapan menerima dan menjalankan hal-hal baru dari semua elemen Indonesia yang beragam.
Civitas akademika IPB dengan begitu perlu mengedepankan sikap pluralistis, dan tidak bekerja berdasarkan persamaan identitas kelompok tertentu. Kerendah-hatian menerima pandangan bahwa dewan guru besar bukan yang paling tahu tentang pertanian kita, dan bahkan juga tentang sebuah IPB baru yang diimpikan banyak orang, akan sangat banyak gunanya. Perubahan drastik orientasi dan cara bertindak IPB, dengan visi misi baru yang lebih pro pasar dan industri, saya yakin merupakan kunci kemajuan pertanian kita.
Redaksi Koran Kampus

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.