Opini : Menilik Harga Mati Hak Asasi Manusia

Opini oleh Nahdah Sholihah


Asisten Praktikum Sosiologi Umum kelas saya pernah bercerita tentang perbincangannya dengan temannya di Jerman melalui skype. Dia mengeluh ketika di kelas dia pernah tertidur dan alhasil dia dikeluarkan dari kelas oleh dosen. Orang pada umumnnya akan merespon dengan bertanya “Kenapa kau tertidur?”, tetapi teman yang sedang studi di Jerman ini malah bertanya, “Kenapa kau dikeluarkan?” Perbincangan dilanjutkan, dan asprak saya pun mengerti bahwa temannya itu bingung karena mengapa dia dikeluarkan? Padahal hak dari mahasiswa untuk dapat hadir dalam kelas dan belajar. Memang ketika tertidur kau tidak mendengarkan apa kata dosen, tetapi setidaknya setelah tertidur yang sejenak itu, kau akan belajar.

Agak kurang elit juga opini ini dimulai dengan cerita dari kakak asprak. Tetapi hal ini begitu penting mengingat tema yang akan saya ambil. Di Jerman, mahasiswa yang dikeluarkan akan memprotes (apakah itu karena tertidur atau keterlambatan) karena haknya untuk berkuliah dilanggar oleh dosen. Di sini bukan berarti saya membandingkan Jerman-Indonesia dan mengatakan seharusnya mahasiswa Indonesia juga begini. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa, ini menjadi salah satu contoh bagaimana orang luar (barat khususnya) sudah menyadari hak-hak yang berkaitan dengan dirinya, dan memperjuangkan hak itu.
Dunia yang terkontaminasi pengaruh Barat mencatat dalam sejarah bahwa istilah HAM mulai dikenal dari magna charta (piagam besar) di Inggris pada tahun 1215. Magna Charta adalah piagam yang membatasi kekuasaan Monarki Inggris dari kekuasaan absolut. Tetapi, apabila kita membuka pemikiran lebih luas, rupanya Islam telah mencetuskan HAM jauh sebelum itu, yakni 15 abad yang lalu. Nabi Muhammad saw “mendeklarasikan” HAM ketika Haji Wada’ (Perpisahan) pada hari ke-8 Dzulhijjah. Isi dari khotbah tersebut adalah bertujuan untuk menghormati harkat dan martabat manusia tanpa terkecuali.

Di Indonesia, HAM sangat diperjelas setelah dilakukan amandemen (ke-2) UUD 1945, ketentuan tentang HAM tercantum dalam bab tersendiri yakni dalam BAB XA, tentang HAM. Sebelumnya adalah UU No. 39 tahun 1999, lalu sebelumnya lagi adalah Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993. Terbentuk juga KOMNASHAM dan Pengadilan HAM Nasional. Berdasarkan perkataan dosen Kewarganegaraan (Kn) saya, HAM di Indonesia begitu terperinci dan terurai dengan jelas. Pertanyaannya adalah, mengapa tetap banyak sekali ketidakadilan dan rakyat yang merasa tertindas. Tentu saja saya tidak menanyakan hal ini, karena apabila saya bertanya tentunya tulisan ini tidak akan terwujud.

HAM di Indonesia begitu dijunjung tinggi, tercermin dari peraturan-peraturannya. Tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Toh banyak rakyat yang disengsarakan, yang diduakan dengan kepentingan swasta, rakyat yang tidak mendapat pelayanan yang sama, dan berbagai macam kasus pelanggaran HAM lain yang tidak hanya “pembantu yang disiksa”, “wanita yang diperkosa” dan “warga yang tawuran”. Kenyataannya rakyat Indonesia tidak seperti rakyat di Amerika Serikat yang sudah sangat jelas menjunjung tinggi HAM dan sangat memperjuangkan HAM mereka sampai terkesan “egois”.

Selain rasanya HAM di Indonesia hanyalah berbagai peraturan yang akhirnya berdampak rumit, membingungkan, dan tak banyak rakyat Indonesia mengambil peduli akan HAM nya sendiri. Ada beberapa pasal (terutama ayat) dalam BABX UUD 1945 yang apabila ditelaah lebih lanjut, pantas untuk didiskusikan.

Dalam pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang berisi, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Hal yang saya tekankan di sini adalah pada kalimat berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain karena saya teringat oleh teman saya (melalui twitter) berunek-unek tentang keinginannya menjadi atheis, dan cerita kakak kelas SMA saya yang ber-KTP Islam tetapi dalam kenyataan dia mengaku tidak beriman dan beragama. Mereka berdua sama-sama mengaku tidak beragama, tetapi apakah Indonesia (terutama Pemerintah) mengakui warganya untuk tidak beragama? Bahkan mereka mewajibkan (atau memaksa?) warganya untuk memilih dari 6 agama yang diakui pemerintah. Ini bukanlah sekadar “teori konspirasi” oleh mereka yang mengaku tidak beriman tetapi tidak boleh ber-status atheis yang membenci pemerintah. Istilah Islam-KTP, Kristen-KTP dan lainnya rupanya adalah kenyataan yang mewarnai krisis kepercayaan masyarakat saat ini.

Kasus nyata terdapat pada KOMPAS edisi Rabu, 21 November 2012 dengan artikel yang berjudul “”SEREN TAUN” KEPENDUDUKAN. Perjuangan Melepaskan Jati Diri yang Semu” oleh Rini Kustiasih. Tersampaikan dengan jelas bahwa warga penganut Adat Karuhun Urang (Akur) berstatus Islam, Protestan dan yang lainnya hanyalah sesuatu yang tercantum dalam KTP mereka. Contohnya pada Karsih (57), ber-KTP Islam tetapi sejak kecil hingga dewasa ia tak menyerap ajaran Islam. Hal ini menghasilkan jati diri yang “semu” bagi warga komunitas Akur. Rupanya masalah ini dikarenakan pada awal tahun 1960-an warga komunitas Akur dipaksa memilih salah satu dari lima agama yang saat itu diakui pemerintah. “Negara selama ini tidak memberikan tempat kepada kami untuk eksis secara jujur. Apa artinya pelayanan publik kami peroleh jika itu dilandasi jati diri yang semu,” ujar salah satu warga.

Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa warga berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, tetapi sampai sekarang tidak ada namanya status “Atheis” dan menganut “Aliran kepercayaan” dalam KTP. Yang ada hanya Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu bukan? Pemerintah pun terkesan “mewajibkan” daripada “memberikan hak” kepada warganya untuk meyakini salah satu kepercayaan yang diakui tersebut.

Masih bersangkutan dengan warga komunitas Akur. Pada pasal 28I ayat (3) berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” tanpa mengulang isi pasal, telah diuraikan dengan jelas bahwa warga komunitas Akur seharusnya dihormati akan kepercayaan mereka yang menggolongkan mereka dalam “hak masyarakat tradisional”. Tak hanya masalah warga komunitas Akur, dan tak hanya dalam soal kepercayaan dan agama. Dalam pasal ini seharusnya kita (tak hanya pemerintah) menghargai jalan hidup dan tradisi mereka. Mereka juga dapat memprotes akan HAM yang tidak dipenuhi ini.

Tulisan ini hanyalah wujud saya mengamalkan pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berisi “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat“. Sungguh saya mempunyai rasa bangga akan pasal-pasal yang menjunjung tinggi HAM. Tetapi rasa bangga ini harus berbenturan dengan rasa miris karena kenyataan. Semua sadar akan HAM nya masing-masing, tetapi kenapa tidak dibarengi dengan terwujudnya keadilan dan saling menghargai? Bahkan beberapa pasal bertindak “mewajibkan” daripada “memberikan hak” seperti pada pasal kepercayaan tadi.

Dalam hal kebebasan dan memperjuangkan hak masing-masing, Indonesia memang masih jauh dengan Amerika Serikat. Pada dasarnya kita dituntut untuk mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Tetapi apa yang ingin dicapai di sini bukan terciptanya keegoisan, melainkan terciptanya keadilan, saling menghargai seperti yang saya telah sebutkan sebelumnya. Pada kasus di awal tadi, kita membela hak kita tetapi juga menghargai dosen dengan tidur tanpa terlihat tidur. Dosen juga dituntut menghargai hak kita dengan membiarkan tidur asal tidak mengganggu mahasiswa sesamanya. Perlu wujud nyata dari kita semua dan evaluasi pelaksanaan kebijakan agar akhirnya HAM di Indonesia tidak sekadar wacana saja.
Redaksi Koran Kampus

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

1 Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.