[Resensi] Kacamata Kuda Konflik Agraria

Judul Buku: UNTUK APA PLURALISME HUKUM?
KONSEP, REGULASI, NEGOSIASI DALAM KONFLIK AGRARIA DI INDONESIA

Editor: Myrna A. Safitri

Penerbit: Epistema Institute + HuMA + Forest People Programme

Halaman: 200


Konflik berlatar belakang kasus agraria terus terjadi di Tanah Air. Buku ini mengupas bagaimana konsep pluralisme hukum dipahami dan diterapkan terutama dalam konflik agraria.

Tidak ada investasi yang gratis, kepentingan kapitalisme yang berbenturan dengan kelompok masyarakat ini dihargai dengan konflik. Masyarakat, terutama masyarakat adat yang sudah lebih dulu menempati wilayah asal mereka harus menghadapi kapitalis dalam pertarungan, konflik agraria. Konflik agraria di sini bukan hanya bicara tentang rebutan tanah, tetapi juga sumber-sumber daya alamnya.

Dalam menghadapi konflik agraria, pemerintah cenderung mengedepankan hukum formal tertulis. Sebagian dibuat dengan mengangkangi prinsip-prinsip hukum agraria yang diatur dalam UU No 5 Tahun 1960. Berbekal peraturan semacam itulah aparat menggunakan kacamata kuda melihat konflik agraria. Seolah-olah hanya satu hukum yang berlaku di bidang agraria, yaitu hukum positif nasional. Seolah-olah masyarakat tidak punya hukum dan mekanisme sendiri yang bisa menyelesaikan konflik, bahkan mencegah jika ada potensi konflik. Keragaman budaya, etnisitas, dan indikasi sosio-antropologis lainnya terabaikan.

Jika ada keberagaman hukum di satu sisi, dan keinginan menyatukan seluruh elemen masyarakat ke dalam satu nation, pertanyaan tentang pluralisme hukum akan selalu muncul. Pluralitas hukum merupakan suatu keniscayaan dalam masyarakat plural (hal. 1).

Buku ini diangkat dari tulisan sejumlah pakar dan pengalaman riil sejumlah aktivis pendampingan masyarakat. Ada Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga Prof Soetandyo Widnjosoebroto, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Liwina Inge Nurtjahyo, peneliti HuMA, Andiko, dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Taqwaddin Husein, dan Direktur Eksekutif Epistema Institue, Myrna A Safitri. Myrna sekaligus menjadi editor buku setebal 200 halaman ini.

Pluralisme hukum sebenarnya bukan gagasan baru, bukan pula materi yang baru diperdebatkan. Studi klasik menunjukkan pluralisme hukum di Indonesia telah menjadi debat panjang para akademisi, praktisi, dan aparat pemerintah sejak zaman Belanda. Namun perdebatan itu bukan hanya hidup di zaman ketika Belanda menerapkan politik adu domba, tetapi juga hidup hingga sekarang.

Penyebabnya tak lain adalah realitas masyarakat Indonesia yang beragam dalam banyak hal. Mereka punya kelaziman-kelaziman dan tradisi turun temurun, punya hukum tradisional yang digunakan mengatur antara lain pembagian tanah dan konflik, bahkan punya lembaga-lembaga yang bertugas menyelesaikan berbagai persoalan.

Pada saat yang sama, negara berusaha ‘memaksakan’ hukum nasional untuk diberlakukan ke seluruh masyarakat tanpa perbedaan perlakuan. Adakalanya hukum nasional yang ingin dipaksakan itu tak sesuai dengan kelaziman masyarakat. Maka, ketika hal itu terjadi, hukum negara yang tak sesuai dengan ‘hukum’ rakyat itu cenderung tak akan dipilih. Bukan mustahil masyarakat akan melawan (hal. 28).

Di lapangan agraria misalnya. Hukum positif negara, termauk konstitusi, berusaha mengakui eksistensi hukum adat. Tetapi dalam praktik, konflik agraria, konflik pertambangan, dan konflik kehutanan menunjukkan masyarakat adat tetap dalam posisi marjinal. Benturan-benturan yang terjadi di lapangan dalam pengalokasian tanah dan kekayaan alam akan selalu melahirkan konflik sosial dengan korban terbesar adalah masyarakat hukum adat (hal. 91).

Pekerjaan rumah yang tersisa adalah bagaimana menjembatani atau membangun relasi mutual antara hukum negara dan ‘hukum’ masyarakat adat. Penyusunan peraturan perundang-undangan yang berbasis masyarakat menjadi salah satu upaya yang bisa dilakukan. Jika ada salah satu sistim yang terlalu dominan, maka yang terjadi adalah peluang konflik. Masyarakat adat melihat penguasaan tanah mereka melanggar kelaziman, sedangkan hukum negara melihat perlawanan masyarakat sebagai perbuatan kriminal.

Fakta membuktikan pluralisme hukum terus dikampanyekan. Gerakan pembaruan hukum yang muncul di Indonesia memperlihatkan pluralisme sebagai salah satu isu. Tetapi, benarkah pluralisme itu tujuan akhir? Myrna menjawab tegas pluralisme hanya sebagai alat untuk mencapai keadilan bagi seluruh warga, terutama mereka yang hak-hak dasarnya belum diakui, dilindungi, dan dihormati oleh sistim hukum yang dominan (hal. 12).

Tentu ada banyak pertanyaan lanjutan yang bisa diajukan. Buku ini mencoba memberikan jawaban, minimal dari kerangka teroritis dan pengalaman para penulisnya di lapangan. Untuk melengkapi jawaban, Anda layak membaca referensi lain karena “Untuk Apa Pluralisme Hukum?” adalah seri kedua yang diterbitkan Epistema Institute –bersama HuMA– yang membahas isu pluralisme. Publikasi terdahulu membahas pluralisme dikaitkan dengan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Pluralisme hukum bukan tanpa kritik. Anda juga bisa membaca kritik tersebut dalam buku ini. Minimal, dengan membacanya, kita lebih paham tentang pluralisme hukum yang diimpikan banyak orang. Membaca tentang pluralisme bisa jadi mendorong kita untuk lebih menghargai dan menghormati keberagaman.

Fadhli Sofyan


Sumber: hukumonline
Redaksi Koran Kampus

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.