Hujan masih rintik, tetapi laraku sudah deras. Orang bilang people come and go dan ternyata aku yang pergi meninggalkan rumah yang selama ini aku tinggali. Namun apa daya, aku harus tetap pergi untuk meraih gelar sarjana yang aku impikan, di Bogor sana yang tidak aku ekspektasikan sebelumnya.
Baru kemarin aku melangkah pergi dan memulai kehidupan baru yang asing, meski perlahan-lahan aku sudah terbiasa dengan itu. Terbiasa mendengar rengekan Ara yang merindukan masakan bundanya, terbiasa melihat aksi konyol keluarga monyet yang berkeliaran di asrama dan mencuri cermin: berlagak seperti seleb yang banyak gaya, terbiasa mendengar celotehan lorong sembilan waktu dini hari, terbiasa merayakan hari ulang tahun teman lorong, dan masih banyak lagi momen di mana aku berteriak dalam hati, “Tuhan aku tidak ingin melewatkan memori yang aku simpan dengan baik dalam pikiranku ini.”
Saat liburan tiba, aku membenci rumah dan bertanya pada diri sendiri ke mana arah pulang. Aku seperti burung camar yang terus mengembara dan tidak ingin singgah. Sungguh, ini bukan keinginan dari hati terdalamku, tetapi keadaan lagi-lagi membuatku menghela napas panjang dan berbelok arah ke rumah kakakku yang tidak jauh dari rumahku.
Aku lupa ada trauma yang aku simpan dalam bentuk kakak laki-laki yang tingkahnya semakin menjadi-jadi saban harinya. Aku seperti didepak ke rumah kakakku yang lain agar keadaan tidak semakin runyam. Setiap harinya, drama keluarga terus terjadi seperti diorama yang panjang.
Masih aku ingat dengan jelas pertengkaran hebat sebelum aku merantau. Bram, kakak laki-laki aku itu menggedor-gedor pintu kamarku dengan kencang. Semakin lama aku membuka pintu, semakin kencang gedorannya. Bagiku, gedoran pintu itu sangat menakutkan karena aku tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Tentu hal ini aku ketahui karena kejadian tersebut tidak terjadi sekali dua kali. Di dalam kamar aku hanya bisa berjongkok di pojokan dan memeluk lutut, berharap semua cepat berlalu.
“Kalo lo masih ngunci pintu, HP lo gue jual!” ancam Bram.
Hening sepersekian detik. Lalu tiba-tiba bagian jendela digedor-gedor. terdengar alat yang mencongkel-congkel pintu dan jendela. Aku takut, tentunya bukan hanya takut Handphone diambil. Sudah berapa kali mulutnya dengan sangat mudah mengancam akan membunuhku dengan golok yang selalu bapakku asah tiap minggu? Bagaimana bisa dia tidak memperhatikan lidah tanpa tulangnya itu dan sedikit pun tidak jua memikirkan aman tidaknya mental seseorang?
Selang beberapa menit, tidak ada suara apa pun. Aku mengelap bulir-bulir yang entah kapan sudah mengalir dan membasahi seluruh pipiku. Saat pintu terbuka, aku kaget karena Bram, kakak tidak tahu diri itu menunggu di depan pintu. Dengan cepat kepalan tangannya menuju ke arah tanganku. Tangan sebelah dia hanya diam karena pernah patah. Aku tidak ingin kalah, dengan cepat aku menggigit lengannya. Meskipun hanya kena sekali dan aku mendapat cekikan darinya, aku merasa puas telah melampiaskan kekesalanku padanya.
Bagiku Bram hanyalah pecandu rokok yang miskin. Setelah berhenti kerja, ia menetap di rumah dan tangannya terus menengadah meminta uang pada Ibuku untuk membeli rokok. Tidak jarang ia memukulku hanya karena aku menolak disuruh ngutang rokok ke warung. Jika ia memiliki uang, bukannya membantu kebutuhan rumah, malah ia habiskan untuk foya-foya bersama temannya.
Bagiku rumah ini adalah neraka. Meskipun sudah direnovasi menjadi lebih bagus, aku hanya merindukan momen di mana aku bisa bermain perosotan di teras depan saat hujan, dikejar sapu lidi oleh Ibu karena bolos sekolah, dibangunkan dini hari agar mengaji subuh, dan masih banyak lagi kenangan yang aku rindukan.
Setelah pertengkaran itu, bapak selalu membela Bram. Katanya apa salahnya aku ke warung membelikannya rokok. Waktu itu aku masih sekolah dan setiap hari dipalak uang olehnya. Di balik dinding kamar, aku mendengar sayup-sayup suara Bram berkata, “Anak yang disekolahkan tinggi-tinggi harusnya sopan!”
Tcih.. Aku sangat tidak setuju. Memang anak yang sekolahnya tidak tinggi boleh kasar? Bagiku kesopanan harus ada pada setiap orang. Tidak melihat ia sekolah atau tidak. Aku sungguh kasihan pada Bram. Setelah tangannya patah, ia selalu menyalahkan keadaan, selalu iri pada adik-adiknya yang selangkah lebih maju, dan pada akhirnya ia terus menyerang adik-adiknya.
Aku ingin pulang ke tempat di mana traumaku dalam bentuk Bram tidak ada, tempat di mana manusia memanusiakan manusia, melebarkan sayapnya dan memberikan selimut di kala aku kedinginan. Aku hanya ingin pulang.
Reporter: Rosita
Sumber gambar: Freepik.com
Editor: Fatin Humairo’
Tambahkan Komentar