Takut Tambah Dewasa

Huft….”

Sekarang jam menunjukkan pukul 22.06 waktu setempat dan rasanya sulit sekali untuk tidur. Mungkin sudah 30 menit aku sudah berbaring di ranjang, tetapi belum mengantuk juga. Oh iya, sebelumnya perkenalkan, namaku Lala, usiaku 19 tahun. Sebenarnya ada alasan mengapa aku tak mengantuk. Mungkin saja karena aku khawatir akan hari esok, hari di mana usiaku berkepala dua. Banyak orang bilang usia 20 tahun adalah titik awal kedewasaan. Beberapa orang mungkin senang menjadi dewasa, tetapi tidak bagiku. Aku takut dan belum siap menjadi dewasa. Aku hanya bisa berdoa semoga hari esok bisa kulewati dan kelak aku menjadi wanita yang sukses.

“Aamiiin,” batinku. 

***

Trrrr… trrrr… trrrr….

Suara alarmku bergetar. Aku mematikan alarm itu sambil menguap dan mengusap mataku. Segera setelah membuka mata, aku terkaget, “HAHH!! INI DI MANA?!” Di mana aku? Hmm sebentar, seingatku semalam aku terbaring di kasur dengan Piko–boneka pinguin kesayanganku–disampingku. Namun, sekarang aku terbangun di ruangan asing dengan ranjang berwarna abu dan jendela yang sangat besar, di ujung ruangan ini terdapat lemari buku. Wahhh… bentuknya seperti kamar idamanku selama ini. 

Eits, tetapi ini di mana ya?

Tok… tok… tok….

Terdengar suara ketukan pintu.

“Nona Lala, apa ada yang salah? Bibi masuk ya, Non,” ucap suara seseorang yang suaranya tidak familiar di telingaku.

“Hah kamu siapa? Di mana ini?” tanyaku bingung.

Orang yang mengetuk tadi wajahnya lebih bingung dan menjelaskan bahwa sekarang aku berada di rumahku sendiri. Lalu, aku bertanya kepadanya, “Sekarang tahun berapa kalau boleh tahu?”

Orang yang menyebut dirinya sebagai bibi menjawab, “Sekarang tahun 2034, Non. Masa Non lupa heheh.” Aku terdiam, mencoba mencerna situasi yang ada.

Setelah itu, aku bertanya-tanya ke bibi mengenai hidupku sendiri. Mulai dari apa yang kulakukan selama ini, apa pekerjaanku, dan lain-lain. Mungkin bibi menganggapku aneh, tetapi bagiku situasi ini lebih aneh. Aku tak merasakan ada kejanggalan disini. Rasanya tak nyata, tetapi aku yakin ini bukan mimpi. Hmm, entahlah, aku masih bingung dengan situasi ini.

“Non, hari ini Nona ada acara dengan nona Lili,” ucap bibi.

Ahh, iya, aku belum cerita ya. Aku punya sahabat baik sejak SMP, namanya Lili. Dia orang yang baik, ceria, dan luar biasa. Sejak dulu, baik di SMP maupun SMA ranking kami selalu atas bawah, antara ranking 1 atau 2.

Aku bersiap-siap menemui Lili. Setelah siap, aku keluar dan menaiki mobil yang terlihat mewah dan keren. “Wahh, ini mobilku? akhirnya bisa merasakan naik mobil seperti ini,” batinku.

Sesampainya di tempat tujuan, aku melihat sosok perempuan anggun yang memakai dress putih bermotif bunga lili, aku yakin itu pasti Lili. Mentang-mentang namanya Lili, dia jadi suka bunga itu hihihi, ada-ada saja Lili.

Perempuan itu berbalik arah dan memanggil namaku, “Lala!!!” sambil melambaikan kedua tangannya.

Aku melambai balik kepadanya. Dia terlihat seperti wanita dewasa yang anggun dan hebat, rambutnya tertutup kerudung krem dan wajahnya terlihat ceria seperti biasa.  

“Bagaimana kabarmu, Li?” tanyaku. 

“Ahh, seperti biasa, sehat wal afiat,” jawabnya. 

Aku bingung memulai pembicaraan darimana. Aku tahu Lili adalah sahabat baikku. Namun, Lili yang sekarang berbeda dengan Lili yang kukenal. Apa aku jujur saja bahwa aku sedang kebingungan dengan situasi sekarang. Ya, mungkin dia akan tertawa terbahak-bahak, tapi tak mengapa, daripada aku bingung harus membicarakan apa. 

“La? kenapa? ada yang salah?,” tanya Lili kepadaku. Ya ampun sahabatku ini selalu tahu isi kepalaku. 

“Li, jadi gini, kayaknya aku hilang ingatan deh, lebih tepatnya ingatan terakhirku itu pas aku masih kuliah,” jawabku, siap-siap mendengar tawanya. 

“Ohh begitu, pantas kamu kelihatan aneh,” ucap Lili.

Ehh sebentar, Lili tidak menertawakanku. Oh iya, barangkali dia sudah lebih dewasa, ya. 

“Mungkin kamu kecapekan La, ‘kan kamu hampir setiap hari lembur. Hari ini saja bisa free karena ketemuan sama aku, ‘kan? Heheh,” lanjutnya.

Lili pun menceritakan tentang jerih payahku selama ini hingga akhirnya aku bisa di posisi seperti sekarang. Dia bercerita bahwa selama 17 tahun belakang ini, kami tetap berteman baik, saling mendukung satu sama lain di saat sulit, saling bercerita di kala jenuh, saling mendoakan untuk kebaikan masing-masing. Setelah menceritakan banyak hal, dia mengatakan, “Akhirnya kamu bisa sukses ya, dengan segala usaha yang sudah kamu lakukan sejauh ini. Kamu hebat, La!”

Lalu aku bertanya mengenai dirinya sendiri, “Kalau kamu gimana, Li?” 

Lili menjawab, “Aku baik-baiks aja. Cita-citaku menjadi istri yang baik tercapai dan sebentar lagi, in syaa Allah, aku akan jadi ibu,” ucap Lili sambil memegang perutnya. “Semoga anak ini bisa menjadi anak yang pintar dan berani seperti kamu,” lanjutnya.

Aku tersenyum dan menitiskan air mata, ingin kubilang ke dirinya kalau aku tak sepintar dan seberani itu. Masih sangat banyak kekuranganku, Li.

Tiba-tiba saja aku teringat tentang ibuku, dari pagi ia belum terlihat. Oh iya, aku ini yatim, ayahku sudah meninggal sejak umurku 10 tahun. “Lili, mau tanya, kamu lihat ibuku tidak, ya? dari pagi ini aku belum lihat dia.”

Raut wajah Lili berubah, perasaanku tidak enak. Akhirnya rasa penasaranku pun dijawab olehnya, “La, kamu lupa? Ibumu sudah tidak ada di dunia ini sejak 2 bulan yang lalu karena penyakit jantungnya.”

Aku kaget, lalu terdiam, tidak mampu berkata apa-apa. Lalu, kami lanjut berbincang-bincang, membicarakan masa lalu, masa kini, dan masa depan. 

***

Hari sudah gelap, waktunya aku tidur. Tiba-tiba saja aku rindu masa lalu, masa di mana aku masih bisa bermimpi sebebasnya. Walaupun masa itu sulit, tetapi setidaknya tidak akan ada yang melarangku bermimpi.

Sebelum tidur aku berdoa, “Ya Tuhan, aku ingin kembali, aku ingin merasakan prosesnya, aku ingin merasakan susah payahnya, aku ingin merasakan suka dukanya. Meskipun aku takut bertambah dewasa, tapi sepertinya aku lebih takut tidak merasakan proses kedewasaan itu. Aku ingin merasakan masa mudaku, aku ingin melihat wajah ibuku yang bahagia saat diriku sukses, aku ingin melihat resepsi pernikahan Lili, aku ingin merasakan kebahagiaan-kebahagiaan lain yang sudah terlewati. Aku ingin, Tuhan, aku ingin tambah dewasa.”

“La, Lala….” Suara lembut terdengar di telingaku, suara itu familiar. Aku membuka mata dan memeluk seseorang yang berada tepat di depanku, yaitu ibuku. Aku terbangun dengan air yang turun deras dari mataku, aku menceritakan mimpiku semalam ke ibu.

Lalu, ibu menenangkanku, “Sudah tidak apa-apa, sekarang, yuk, raih mimpimu tadi menjadi kenyataan, ya?”

 

Reporter: Nazary Fryda Delviyanti

Ilustrator: Mega Utari Maharani

Editor: Fatin Humairo’

Avatar

Nazari Fryda Delviyanti

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.