Kakak, Maafkan Aku

Rio berlari kesana kemari dengan lincah. Bukan lincah tapi bisa dibilang hiperaktif. Dia tidak hanya berlari, dia terkadang terdiam menatap benda-benda yang menarik perhatiannya. Ia akan terus memperhatikan sampai ia puas dengan pengamatannya itu. Jika ia bingung, ia menarik tangan sang ibu. Tatkala mamanya menjelaskan, ia sudah pergi lagi ke tempat lain, dan ia tidak mendengarkan penjelasan. Dia kembali berlari seraya  meloncat terkadang diiringi dengan teriakan kegirangan. Mamanya hanya mampu menggeleng seraya tersenyum. Sekilas, tampaknya Rio seperti anak-anak biasanya. Ia tumbuh sehat, dengan bobot yang kuat. 

Padahal sebenarnya ia adalah satu dari ribuan penderita autis di dunia ini.

Memasuki usia 8 tahun, Rio mendapatkan seorang adik kecil. Namanya Dimas. Ia tumbuh sehat dan normal. Secara fisik, Dimas dikaruniai wajah yang lebih tampan. Dimas kecil pun tak kalah lincah dari kakaknya Rio. Ia selalu dengan usil mengganggu sang kakak yang tak pernah menyadari keberadaanya.

“Dimas!! Jangan ganggu kak Rio!!” Terdengar teriakan mamanya dari dapur. Dimas kecil tak menghiraukan. Ia kembali mencolek pipi tembem kakaknya. Rio pun mengamuk marah. Dia menjambak keras rambut Dimas dan mencakar wajahnya. Dimas yang baru berusia 4 tahun itu menangis kencang. Wajahnya berdarah. Mamanya segera mematikan kompor dan segera berlari ke ruang tengah.

“Ya ampun, Dimas!!  Kamu, udaa mama ingetin jangan ganggu kakaknya!! Jadi beginikan.” Mamanya terus ngedumel. Tangisan Dimas makin keras. Sementara Rio sudah pergi meninggalkan ruangan tengah. Setelah diobati, Dimas tertidur lelap.

Esok harinya, Rio terjatuh ke selokan. Ia menangis sekeras-kerasnya. Tak jauh dari tempat itu, Dimas bermain dengan kucing kesayangannya. Mama segera datang. ” Rio, kamu kenapa nak?” Tangis Rio mereda ketika dipeluk mama. ” Dimas!! Kamu apakan kak Rio? Kenapa dia bisa luka-luka begini?” Dimas tak mendengar karena saking asyik dengan kucingnya. ” Dimas!! Kamu denger mama gak sih?” Dimas masih belum mendengar. ” Dimas!!!” Kali ini suara mama sangat keras dan mengejutkan Dimas kecil yang masih polos itu. Dimas terdiam. Terkejut campur sedih. Kesekian kalinya, Rio yang dipihak mama. Mengapa bukan dia. Kali ini, Rio jatuh bukanlah salah dia. Mengapa dia diperlakukan tak seistimewa Rio. Padahal dia kan adik. Adik harus lebih di manja. Dan dia tidak pernah dimanja.  Mengapa Rio yang selalu dimanja. Dia kan kakak. Semua pemikiran polos itu mengahantui pikirannya. Ia pergi berlari masuk ke kamarnya. Ia menangis dalam lemari. Hingga akhirnya ia tertidur dalam kepengapan dan kegelapan.

Waktu terus bergulir. Tak terasa, Rio sudah hampir memasuki usia dewasa. Ia tumbuh menjadi seorang yang bertubuh besar. Dan ia sedikit mulai bisa berinteraksi dengan lingkungannya. Dimas pun demikian.Ia tumbuh menjadi seorang ABG gagah bertubuh proposional. Namun, ia menjadi seorang yang badung dan keras kepala. Sang mama sudah kewalahan menghadapinya. Apalagi mamanya hanya tinggal seorang diri karena sudah ditinggal pergi suaminya.

” Dimas,, anterin mama kepasar ya!!” Panggil sang mama.

“Dimas!!” Panggilan kembali. Rio menyahut “Suruh Rio, anak mama aja!! Aku capek!!”

“Dimas!!” Mamanya langsung berjalan menuju kamarnya.

” Kamu makin gede, makin gak sopan ya! Seperti tak pernah diajarkan etika saja!”

“Lha, kan? Aku lagi yang salah! Aku capek disalahin mulu ma!! Capeeek!! ” Dimas segera menutup kepalanya dengan bantal. Mamanya langsung menarik bantal itu. “Kamu, seperti tidak mengerti bagaimana kakak kamu saja! Mama bertumpu harapan saama kamu, nak!”

” Tidak mengerti bagaimana ma? Aku tahu, RIO ITU AUTIS!! RIO ITU GAK NORMAL!! Rio itu…”
“Cukup Dimas!!” Kali ini, mamanya sangat marah. “Kamu benar-benar keterlaluan!” Sebuah tamparan melayang di pipi Dimas. Matanya berkaca-kaca penuh amarah. Dia berlari meninggalkan sang mama yang terpaku membisu. Ia berlari menuju jalanan yang dipadati kendaraan yang melintas. Tanpa ia sadari, sebuah innova metalic meluncur kencang menuju ke arahnya. Si pengemudi mencoba menghindar, namun seketika bannya pecah. Mobil oleng dan tiba-tiba Dimas didorong. Si pendorong terpental jauh masuk ke dalam pekarangan rumah seberang. Badannya ronsok, patah dan lebam. Si pendorong adalah seorang yang sangat Dimas benci dalam hidupnya. Yaitu Rio.


” Kakak, maafin aku kak!” Dimas menunduk disebelah kasur Rio. Rio yang sudah sadar hanya menatap lurus ke arah Dimas. Tatapan kosong namun sebenarnya penuh kehangatan. Air matanya pun mengalir. Dimas pun tak kuasa. Air matanya pun menetes. Kakak yang memang tidak pernah berkomunikasi langsung selama hidupnya itu, kini mampu berkomunikasi dengannya. Walau hanya dengan tatapan. Untuk pertama kali dalam hidupnya Dimas memeluk Rio. Rio yang tak mengerti, hanya diam terpaku.



Siti Kurnia Apriliani – Kru Magang Korpus
Redaksi Koran Kampus

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.