Aksara jawa adalah salah satu warisan kebudayaan yang wajib dijaga dan dilestarikan. Pada sejarah awal munculnya aksara jawa, dipercaya bahwa huruf-hurufnya berkisah pada dua orang punggawa yang mati saat bertarung memperebutkan pusaka milik Ajisaka, pemuda berani yang mengalahkan raja Dewatacengkar dari kerajaan Medhangkamulan.
Ajisaka kemudian mengenang kematian kedua punggawa tersebut lewat aksara yakni ; Ha Na Ca Ra Ka (ada dua orang), Da Ta Sa Wa La (mereka kedua berkelahi), Pa Dha Ja Ya Nya (sama kuatnya ), dan Ma Ga Ba Tha Nga (mati dua-duanya karena sama kuatnya).
Bentuk aksara Jawa yang sekarang dipakai sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi, bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara yang memiliki kedekatan dengan aksara Bali ini memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf utama (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan. Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi, sehingga penggunaan huruf pasangan dapat memperjelas kluster kata.
Menguasai aksara jawa sangat penting untuk mempelajari naskah-naskah kuno terkait sejarah. Pelajaran aksara jawa memang menjadi muatan lokal untuk siswa SD sampai SMA di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta. Namun, kini penggunaan aksara jawa sudah sangat terbatas karena terdesak oleh penggunaan huruf latin baik di surat-surat resmi/ penting, surat kabar, maupun televisi.
“Kalo penggunaan sih yang saya rasa aksara jawa cuma kayak diajarin di sekolah aja gitu, di kehidupan sehari-harinya memang jarang banget digunakan,” kata Isna Nur Arifina, mahasiswi dari omda (Organisasi Mahasiswa Daerah) Tegal.
Firra Tania
Tambahkan Komentar