Ketika Demam Korean Pop Menyerang Remaja

Oleh: Fara Ruby         
Why do I take this title? It’s just because I’m not a Korean Pop fan.
            Mungkin bagi sebagian orang yang ngeh kalau ternyata saya adalah salah satu penari girlband gedung A2 saat acara Welcome Party beberapa waktu lalu, pasti akan merasa heran. Kok bisa-bisanya sih ikutan girlband tapi bukan penggemar Korean Pop atau K-pop? Kesannya, kok hipokrit sekali?
            Karena, tujuan saya ikutan girlband itu hanya untuk menambah pengalaman dan mengobservasi penyebab sebagian besar remaja saat ini menggandrungi K-pop. Observasi-sambil-numpang-eksis yang saya lakukan itu ternyata membuahkan hasil. Selain menambah kenalan teman baru, belajar menari juga, saya juga mengetahui penyebab demam K-pop di kalangan remaja.
            SM Town Management Tour di Jakarta beberapa waktu lalu memang membuat gempar para penggemar K-pop. Penampilnya adalah Super Junior, SNSD, 2NE1, Shinee, dan lain-lain yang saya tidak ketahui dan saya tidak sukai. Mereka berusaha sebisa mungkin untuk bisa bertemu boyband atau girlband favorit mereka dengan membeli tiket SM Town yang terhitung mahal.
            Saya sebagai insan asrama TPB IPB merasakan euforia SM Town di asrama, yang ditimbulkan oleh mereka yang tidak berkesempatan menonton SM Town langsung di Gelora Bung Karno, Jakarta. Televisi di lobby lantai dua asrama A2 dimanfaatkan para penggemar K-pop untuk menonton siaran ulang SM Town. Mereka menonton sambil berteriak-teriak kagum, membuat gaduh asrama di malam hari. Sementara saya sudah mengantuk dan akan tertidur beberapa saat lagi.
            Sebenarnya, untuk dibilang benci atau suka sama musik K-pop sih saya biasa saja, tidak keduanya. Saya cenderung tidak menyukai behavior para penggemarnya. Penyebabnya, para penggemar K-pop kebanyakan cenderung membicarakan ketampanan atau kecantikan masing-masing personil boyband atau girlband ketimbang kualitas dan spesifikasi lagu-lagu mereka.
Alasan berikutnya yaitu K-pop itu belum legend, musikalitas belum terlalu mumpuni, cuma personil-personilnya yang cantik atau tampan, tapi para penggemarnya sudah rela membayar ratusan ribu bahkan jutaan rupiah demi bertemu mereka. Saya kalau mau memandangi orang ganteng mah tidak perlu membayar mahal, cukup curi-curi pandang kalau lagi di dalam kelas. #eh
Lalu, Status di BBM, bio di Twitter, dan penunjuk identitas dunia maya lainnya, pasti memunculkan bahwa orang itu adalah penggemar K-pop dan tak lupa menyertakan nama personil boyband atau girlband yang menjadi bias-nya. It’s kinda annoying.
Redaksi Koran Kampus

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

3 Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

  • penyampaian opini didasari dengan alasan yang kurang logis. penulis terlihat masih menggunakan emosi negatif di dalamnya. data pun kurang akurat. mengapa bisa Anda menulis tidak menyukai mereka padahal sebelumnya Anda menulis tidak mengetahuinya. KPOP tidak sepenuhnya diisi oleh ketertarikan pada penampilan kok. banyak contoh musik KPOP yang berkualitas. lagipula, untuk kualitas musik itu pasti beraneka ragam di tiap negara, bukan? Indonesia pun demikian. jadi, untuk apa mengomentari musik negara orang lain?
    ya, saya penggemar KPOP tapi tidak seheboh ‘mereka’. saya terkadang juga risih dengan sikap mereka yang kurang terkontrol. tapi hobi tiap orang kan berbeda.

    semoga korpus makin jaya dengan artikel yang bermutu! tetap semangat menulis untuk korpus ya

  • nggak ada 2NE1 di SM Ent. coba kalo nulis dicek lagi di tinjauan pustakanya.
    kalo ada masalah di asrama ya diselesaikan. keberisikan? coba temennya dibilangin. kami di A1 juga begitu kalo ada yg nonton film atau bola Indonesia.
    anyway, ada yang salah sama nonton konser? :))))))

  • negatif. anda menjudge dari satu sudut pandang saja. sangat tidak logis, opini ditulis tanpa fakta-fakta lebih jelas.