Atas Nama Perjuangan

Di sebuah desa kecil di Jawa Timur, di tengah masa penjajahan Belanda menjelang kebangkitan nasional, suasana desa tampak tenang namun penuh dengan ketegangan yang tersembunyi. Para penduduk menjalani kehidupan sehari-hari dengan berat hati, tertekan oleh aturan-aturan ketat dari penjajah. Kemiskinan merajalela, sementara ketakutan akan hukuman dari Belanda menghantui setiap langkah mereka. Di antara penduduk desa yang tertekan, hiduplah seorang pemuda cerdas dan pemberani bernama Suryo. Ia dikenal oleh seluruh desa sebagai pemuda yang bijaksana dan memiliki semangat juang yang tinggi. Meskipun hidup dalam keterbatasan, Suryo selalu menunjukkan ketegaran dan keinginan untuk membebaskan desanya dari penindasan.

Sehari-hari, Suryo mengamati penderitaan yang dialami oleh tetangganya, mendengar keluhan dan tangisan mereka di balik dinding-dinding rumah bambu. Sementara itu, penjajah Belanda sering kali melakukan razia mendadak, merampas hasil panen, dan memaksa penduduk untuk bekerja paksa. Suryo menyaksikan sendiri ketidakadilan yang menimpa keluarganya dan teman-temannya, sehingga membuat hatinya semakin bergejolak. Dalam benaknya, Suryo tahu bahwa sesuatu harus dilakukan untuk mengubah nasib desanya. Bersama beberapa pemuda lain dengan pemikiran yang sama, Suryo mulai merencanakan pertemuan rahasia di hutan belakang desa, merancang langkah-langkah awal untuk melawan penjajah dan membebaskan desanya dari belenggu ketakutan dan kemiskinan.

Dengan kaki melangkah berusaha tenang sedang mata waspada mengawasi sekitar, satu demi satu pemuda memasuki hutan menuju tempat yang telah direncanakan. Mereka saling memantau dan menunggu hingga dirasa semua pemuda telah berkumpul pada satu titik yang sama. Sang penggerak yaitu Suryo membuka suara sebagai tanda musyawarah bermula. Deras ide mereka sampaikan dengan menggebu isyaratkan semangat berontak ketertindasan. Sampai mufakat mereka raih dan nyatakan sepakat serang markas Belanda kala musuh lengah, sergap markas lawan kala pemuda sedia. Mereka lanjutkan perundingan membahas strategi perlawanan, mengusahakan kemenangan. Semangat mereka tak padam meski sang ratu malam telah menunjukkan kuasanya.

Pada hari-hari berikutnya, Suryo dan para pemuda lainnya terpaksa habiskan siang dengan menjalani kebiasaan. Paksa mata saksikan kekerasan Belanda, paksa telinga dengar rintihan warga desa, paksa diri rasakan ketidakadilan yang menimpa. Semua dilakukan agar sang kompetitor tetap tak menduga rencana aksi mereka. Mereka paksa pendam emosi diri pada siang, sedang malam mereka salurkan melalui latihan yang tak kenal lelah. Semangat mereka membara mengingat kejinya perbuatan Belanda pada warga desa. “Pemuda! Jangan pernah merasa kecil hanya karena lawan kita adalah orang besar. Jangan pernah merasa kalah hanya karna kita lawan senjata, maju serang mereka dengan bambu runcing. Keyakinan dan keberanian dalam diri kalian adalah senjata kita yang sesungguhnya. Mari kita lawan kebengisan mereka. Mari kita gulingkan kekuasaan mereka. Mari kita balas kekejian mereka. Demi kita, demi warga desa!” pesan Suryo yang terus menggaung selama berlangsungnya latihan. Pesan yang menjadi bahan bakar pemicu gejolak api semangat dalam diri pemuda. Hingga kian kuat tekad mereka, hingga kian siap diri mereka, guna tandaskan tujuan.

Pada suatu malam, pasukan para pemuda desa yang dipimpin oleh Suryo hendak melakukan persiapan untuk menyerang pos penjagaan Belanda. Segala persiapan sudah mereka lakukan, mulai dari perlengkapan pertempuran hingga resiko yang akan mereka tanggung setelah pertempuran berakhir. Mereka siap mempertaruhkan jiwa raganya untuk mendapatkan keadilan bagi penduduk desa. Mereka rela kehilangan nyawa demi kesejahteraan bersama, itu semua mereka lakukan demi menghentikan kekejaman yang dilakukan Belanda terhadap desa mereka. Penyerangan dilakukan secara tiba-tiba sampai Belanda kewalahan menghadapi serangan kejutan dari warga. Mereka menggunakan senjata seadanya karena kurangnya persiapan. Pertempuran berlangsung begitu sengit, teriakan perjuangan dan senjata api berbenturan di udara. Bambu runcing pejuang tak henti menombak walau merelakan separuh raganya tertembak binasa. Beberapa kepala tergeletak tanpa nyawa, darah berhamburan membasuh tanah di bawah purnama, menjadi upacara sakral meniadakan penindasan atas nama perjuangan. Dari sisi penduduk maupun Belanda sudah memakan banyak korban. Hingga akhirnya Belanda kewalahan untuk melawan penduduk setempat dan mengakui kekalahan di hadapan mereka.

Hari-hari setelah pertempuran berlalu, penduduk desa dan warga setempat kembali berbenah, berusaha bangkit dan menjalani kehidupan di desa seperti sedia kala. Berita keberhasilan pertempuran ini menyebar di seluruh penjuru desa bahkan ke desa-desa lain. Kemenangan ini menjadi pemantik semangat juang seluruh lapisan masyarakat untuk terus memperjuangkan hak dan kemerdekaan bangsa. Meski penuh dengan perjuangan dan pengorbanan darah, kemenangan masih bisa diraih. Meski bersenjata bambu runcing dan strategi seadanya, kemerdekaan masih bisa diperjuangkan. 

Suryo yang melihat semangat membara di kalangan semua warga semakin yakin bahwa ia bisa merubah nasib bangsa. Ia berjanji akan terus mendedikasikan jiwa raganya demi kemerdekaan dan kesejahteraan warga desa. Tak hanya sendiri, Suryo terus mengajak pemuda pemudi desa untuk turut aktif dalam gerakan nya. Membangun kelompok kelompok kecil pejuang kemerdekaan. Melalui bambu runcing dan rencana sembunyi-sembunyi di malam hari, Suryo yakin bahwa kemerdekaan akan menjadi miliknya dan seluruh warga desa di esok hari. 

***

Reporter: Kayla Cinta Salsabila, Fahita Safiraturahman, Helga Elvaretta Putri

Editor: Nurmala Pratiwi

Ilustrator: Anggi Malika Nilmanda Lubis

Redaksi Koran Kampus

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.