Aku pernah mengenal malam yang lebih senyap dari bisikan,
Malam yang panjang dan terjal
Penuh batu dengan kabut gulita selamanya
Aku pernah mengenal malam yang sepi dan tak kenal ampun
Saat bagiku hanya ada jurang keputusasaan
Dari neraka tanpa batas akhir lalu masuklah aku ke dalam
Liang laharnya
Maka saat akhirnya aku menemukan malam yang senyap dan menenteramkan,
Suara—
Napas dan dengkuran
Setelah apa yang dapat engkau sebut tawa serta ulasan tipis
Mungkin diriku berpuluh tahun lalu akan terkejut
Untuk menertawai semua ketakmasukakalan nan logis
Di luar sana aku melihat larik kuning cahaya lampu
Membias, dalam rona yang buat ranting daun jadi api abadi
Aku menyaksikan kegelapan suram dan sosok-sosok yang bernapas seiringku
Dalam irama melambat—dan aku pun menyadari kami satu
Di dalam diriku kantuk menyergap
Di mataku bola panda
Namun dalam kesenyapan dan kesyahduan ini
Doaku pada nanti dan akan, nahaslah saja
Akankah semua yang kami rasakan adalah satu untuk lainnya
Akankah kami minoritas, mayoritas, dalam sumbu sulaman yang telah lama lesap
Serta tersesat, dalam peta kedaluwarsa kuning kecokelatan
Wahai Bulan yang tak lagi tampakkan diri
Di atas semua yang terjadi dan yang menjadikan kita kini
Akulah sama tak kuatnya denganmu serta sama
Tak terimanya denganmu, sungguh mulut ini
Ialah pisau kecil yang melipatgandakan dosaku
Maka sebelum kantuk benar-benar menyergap
Buta ini, izinkan aku menikmati satu malam yang akan pernah kukenal
Sebagai kesenyapan syahdu abadi
Keheningan tenteram nan hati
Bagi seluruh penyesalan dan gejolak di kemudian, menit dan hari
Kusampaikan padamu malam yang pernah jadi milik kita
Untuk cahaya lampu yang menjadikan dedaunan serta ranting pohon berwarna kuning sepia yang kulihat dari jendela atas persegi berjumlah banyak.
Reporter: Fida Zalfa Lathifah Yasmin
Ilustrator: Cyril Zamzami Lulail
Editor: Fatin Humairo’
Tambahkan Komentar