Mengapa Tuhan

Aku benci kepadanya. Benar-benar benci. Laki-laki paruh baya itu, yang seharusnya amat kucintai dan menjadi satu-satunya orang yang kumiliki setelah Ibu pergi, malah kubenci mati-matian. 

Setiap hari, aku selalu pulang lewat tengah malam. Bagiku, berada di rumah itu bagaikan di Neraka. Satu alasan, karena di rumah ada orang itu. Setiap Ia memergokiku pulang larut malam, Ia langsung memarahiku habis-habisan, mengomel panjang lebar tentang ini lah, itu lah. Yang Ia tak tahu, ucapan panjang lebarnya itu sia-sia. Membuang tenaganya saja, karena toh aku sama sekali tak menghiraukannya, menutup kupingku rapat-rapat seolah tak ada yang berbicara kepadaku.

Entah apa yang merasuki diriku, hingga aku benar-benar membencinya. Dia Ayahku! Ayah kandungku! Tapi apa pantas Ia ku panggil Ayah? Dia membuangku dan Ibu, sementara Ia menikah lagi dengan wanita lain yang lebih muda dan cantik daripada Ibu. Lalu tiba-tiba Ia kembali lagi dalam kehidupan kami setelah wanita itu pergi meninggalkannya. Apa pantas laki-laki tak bertanggung jawab ini Aku panggil ayah? Kemana saja Ia selama ini? Aku dan Ibu bersusah payah hidup melarat di jalanan tanpa sepeser pun uang. Sebungkus nasi untuk makan pun kami sudah sangat bersyukur.

Ayah macam apa yang membiarkan anaknya memeras keringat di bawah terik matahari, membiarkan anaknya bertaruh nyawa di tengah jalanan yang penuh mobil-mobil berseliweran, sementara dirinya enak-enakan. Duduk manis, bersantai di rumah mewah bersama wanita yang tak tahu diri itu tanpa memikirkan sedikit pun kondisiku dan Ibu. Kutanya sekali lagi, apa itu pantas disebut Ayah?

Puncak kebencianku padanya yaitu pada suatu waktu, saat aku mencoba melunakkan hatiku untuk ikut makan malam bersamanya. Ia mengajakku berbicara tentang masa depanku. Bulan depan aku lulus SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Dia memaksaku mengambil Fakultas Ekonomi Manajemen untuk meneruskan bisnisnya. Tapi Ia tak pernah tahu, kalau sejak kecil aku ingin sekali menjadi seniman. Lantas, aku menolak idenya dan mengatakan pendapatku untuk mengambil Fakultas Kesenian. Tapi apa yang Ia perbuat? Malah memarahiku habis-habisan, menghina pendapatku, mencaci impianku sejak kecil itu, mengatakan kalau aku benar-benar sinting dan bodoh bila masuk ke Fakultas Kesenian.

Kukatakan kepadanya setengah membentak, “Aku sudah besar! Aku bisa menentukan kehidupanku sendiri! Ini hidupku, hakku pribadi untuk menentukan kemana aku akan melangkah selanjutnya! Aku bukan robot yang bisa kau perintah kesana kemari!” Mendengar aku tetap kekeh pada pendirianku, Ia malah mengancam tak mau membiayai kuliahku. Tantangan yang Ia berikan pun kujawab dengan aksiku minggat dari rumah. Hidupku kembali seperti dulu, sendirian. Berjuang sendiri demi hidupku, bebas menggapai semua impianku yang sejak dulu ingin kucapai. Sampai akhirnya dua tahun berlalu.

Tiba-tiba, Ia datang dan berdiri di depan pintu kostku. Penampilan laki-laki itu jauh berbeda dari dua tahun yang lalu. Matanya cekung karena kurang tidur, badannya kurus dan mulai mengeriput, dan dimana wajah angkuh nan sombong yang biasa Ia tampilkan itu? Hanya ekspresi sendu yang dapat kulihat dari wajahnya saat itu. Tapi rasa kesal dan amarahku masih amat besar terhadapnya. Langsung kuusir dia dari rumahku. Ternyata sifat keras kepalanya sama sekali tak berubah. Ia tetap berdiri di sana, tak bergeming sedikit pun. Kesalku bertambah, kudorong badannya menjauhi pintu lalu aku pergi menjauh. Ya Tuhan, betapa keras kepalanya Ayahku ini. Dengan fisik rentanya Ia masih mencoba mengejarku. Aku terpaksa mempercepat langkahku, berlari menyebrangi jalan raya yang tepat berada di depan kost-ku. Yang aku tak tahu, saat itu sebuah mobil box melaju kencang ke arahku. Saat aku menyadarinya, aku hanya pasrah dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Saat aku membuka mata, kukira aku telah terbang menuju alam lain sana, tetapi tidak. Nyatanya aku masih terduduk di pinggir trotoar, sementara warga semakin ramai berkerumun di depanku. Rasa penasaran membuatku bangkit dan melihat apa yang telah terjadi.

Dalam pandanganku, laki-laki itu terkapar bersimbah darah. Tak terasa air mataku menggenang, bahuku mulai berguncang keras. Entah mengapa tangisku mengalir deras tanpa bisa ditahan. Rasa takut kehilangan menjalari seluruh ragaku. Untuk pertama kalinya aku menyadari, aku menyayangi Ayahku.

Pendarahan otak yang dialami Ayahku gara-gara kecelakaan itu terlalu parah. Nyawanya tak bisa diselamatkan. Sebagai anak satu-satunya, jelaslah kalau hanya aku yang bisa meneruskan bisnis Ayahku ini. Dua hari setelah kematian Ayah, aku langsung pergi ke kantor. Mengurus semua keperluan yang Aku butuhkan untuk menggantikan ayahku di perusahaan. Aku masuk ke dalam ruangan kerja Ayahku untuk membereskan barang-barang peninggalannya. Dan aku menemukan sebuah surat lusuh yang menarik perhatianku dalam laci mejanya. AKu membaca surat itu perlahan, napasku tertahan membaca setiap kalimat dalam surat itu.

“Anakku tersayang, Langit Ramadhan. Dimana kamu sekarang? Ayah kangen sama kamu. Apa kamu masih ingat sama Ayah? Pasti kamu sudah besar sekarang. Maafin Ayah, nak. Maafin Ayah. Ayah pergi meninggalkanmu dan Ibumu. Ayah menelantarkanmu. Maafin Ayah. Ayah nggak bisa menemani kamu tumbuh dewasa. Ayah nggak pernah memberimu semangat saat kamu bertanding bola dengan teman-temanmu. Ayah juga nggak pernah menemani kamu bermain, Ayah nggak pernah melakukan apa yang dilakukan seorang Ayah kepada anaknya. Ayah minta maaf, nak. Ayah benar-benar minta maaf. Meninggalkanmu dan Ibu, adalah kesalahan terbesar yang pernah Ayah buat. Maafin Ayah.”

Bercak tetesan air mata Ayah masih tercetak jelas di atas kertas itu. Membuatku menyadari kesalahan terbesarku. Membenci Ayahku, seseorang yang dulu sangat Aku rindukan kehadirannya dan sangat  dinantikan kasih sayang serta pelukannya. Kini semua telah terlambat. Aku benar-benar terlambat menyadarinya, bahwa sebenarnya aku sayang Ayahku, bahwa sebenarnya aku butuh perhatian dan kasih sayangnya, seperti anak-anak lainnya. Lantas aku mengutuk diriku. Tuhan, mengapa penyesalan selalu datang terlambat?

***

Reporter: Fatayah Fahma Diena, Gita Ayu, Bagus Apriano Nur Sukma, Hilma Rahmi Fauziah, Fairuz Zain

Editor: Nurmala Pratiwi

Ilustrator: Muhamad Rasyid Abdullah

Redaksi Koran Kampus

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.