Peringatan Hari Ibu tahun ini membawa nuansa yang berbeda bagi mahasiswa perantau di IPB University, khususnya mereka yang berasal dari wilayah Pulau Sumatera (Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara) yang tengah luluh lantak akibat bencana banjir bandang dan tanah longsor. Di tengah tekanan tumpukan tugas serta ujian akhir semester yang menuntut fokus penuh, terselip kecemasan mendalam akan keselamatan keluarga di kampung halaman yang sulit dihubungi akibat putusnya aliran listrik dan jaringan internet. Alih-alih kehangatan aroma masakan rumah atau kue manis bertuliskan ucapan selamat, perayaan kali ini justru dibayangi oleh gambaran tenda pengungsian yang sesak, bising, dan hamparan lumpur yang belum juga menyurut dari ruang-ruang kehidupan mereka. Bagi para mahasiswa ini, hari ibu tak lagi dirayakan dengan kemewahan fisik, melainkan melalui jembatan doa yang tak pernah putus, sebuah bentuk penyerahan diri yang paling tulus kepada Yang Maha Kuasa di tengah ketidakpastian yang mengepung dari kejauhan.
Firman, mahasiswa asal Kota Padang mendapatkan kabar bencana ketika ia sedang berkompetisi di Makassar. “Saat mendengar banjir saya sedang mengikuti pimnas di Makasar, sangat shock waktu itu, apalagi mendengar ayah saya sangat sulit memperoleh penghasilan harian. Selama menjadi mahasiswa yang terdampak, saya sangat sulit untuk fokus, karena hidup saya tidak hanya sebagai mahasiswa tapi juga sebagai seorang anak di perantauan. Setelah Pimnas sempat saya ingin pulang dan meninggalkan UAS melihat situasi yang terjadi. Ayah minta saya untuk tetap konsisten, sebagai gantinya saya mengirim tabungan pribadi ke Padang (karena bahan pokok rata-rata naik) dan menekan pengeluaran saya disini.” ujar Firman.
Mahasiswa lain yang terdampak turut cemas dan memikirkan keadaan keluarganya di rumah, seperti yang dialami Melandry yang merupakan mahasiswa asal Deli Tua. “Saya cuman khawatir keluarga saya apakah dapat makan dan minum dengan tenang.” ujarnya. Kekhawatiran mendalam ini menjadikan fokus mereka terbelah dua, antara menjalani kewajiban sebagai pelajar atau sebagai anak.
Di tengah dilema situasi ini, sesosok ibu hadir sebagai simbol ketabahan yang tak tersentuh; ia adalah jangkar yang tetap kokoh meski dunia di sekelilingnya sedang hanyut. Namun, bagi mereka yang terpisah jarak ribuan kilometer, ketangguhan ibu justru kerap kali memicu rasa bersalah yang menyesakkan dada karena tak mampu mengulurkan tangan secara langsung. “Pastinya ada rasa bersalah, disaat saya tidak tahu kondisi keluarga saya seperti apa, saya hanya bisa pasrah, saya tidak bisa membantu apa-apa, sedangkan keluarga saya belum tentu bisa tidur dengan nyenyak.” tegas Melandry.
Situasi yang masih mencekam dan darurat pada beberapa titik di Sumatera tentu menjadi keresahan mahasiswa. Namun, sosok Ibu selalu menjadi sumber kekuatan. Asal ada Ibu, dunia baik-baik saja. Wina, salah satu mahasiswa terdampak yang berasal dari Kota Padang juga menyampaikan rasa syukur yang tidak pernah putus karena kehadiran ibunya. “Aku ingin menyampaikan terima kasih udah tetap dalam kondisi yang baik baik saja ditengah banyaknya berita orang-orang yang kehilangan orang tersayang karena bencana ini, aku bersyukur ibu aku masih dalam keadaan sehat. Aku gak bisa bayangin kalau misal salah satu diantara ribuan korban itu adalah ibu aku, pastinya hati aku gak akan bisa menerima dan mungkin juga ikut mengutuk orang orang yang udah bilang kalau bencana ini tidak separah yang terlihat di sosmed.” syukur Wina.
Dampak bencana ini pun turut dirasakan oleh mereka yang tidak terdampak banjir langsung, seperti Khansa yang berasal dari Kota Banda Aceh. Ia melihat bagaimana ibunya harus berjuang di tengah kelumpuhan logistik. “Kediaman saya memang tidak terkena banjir, tapi terkena dampak pemadaman listrik yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Selain itu terdapat panic buying yang menyebabkan kelangkaan bahan baku makanan. Hal ini membuat saya terus mengkhawatirkan bagaimana ibu mengelola kondisi rumah di tengah kelangkaan tersebut.” jelas Khansa.
Ibu adalah sosok yang selalu menguatkan kita dimanapun kita berada. Apapun situasinya, Ibu selalu menjadi garda terdepan melindungi dan menenangkan keluarganya. Jessy, salah satu mahasiswa terdampak di wilayah Medan juga merindukan ibunya di tengah bencana ini. Ia selalu teringat perjuangan ibunya. “Mama sangat tenang di situasi kaya gini, walau sebenarnya dia juga lelah dan cemas, tapi selalu bisa nenangin aku dan keluarga.” ujar Jessy.
Mahasiswa yang terdampak menaruh harapan besar agar pemulihan di wilayah Sumatera segera dilakukan secara menyeluruh oleh pihak berwenang. Mereka berharap agar akses komunikasi dan distribusi kebutuhan pokok kembali stabil sehingga beban yang dipikul orang tua mereka di kampung halaman dapat segera berkurang. “Harapan saya semoga Ibu dan keluarga di sana selalu dalam lindungannya dan situasi segera pulih seperti sedia kala. Saya ingin membuktikan bahwa doa-doa yang kami kirimkan dari Bogor bisa menjadi kekuatan bagi Ibu untuk tetap tegak berdiri menghadapi musibah ini.” pungkas salah satu mahasiswa. Melalui semangat tersebut, peringatan Hari Ibu kali ini bertransformasi menjadi simbol keteguhan hati bahwa jarak dan bencana takkan mampu memutus ikatan bakti seorang anak.
***
Reporter: Naura Putri, Ari Yanto
Editor: Asni Kayla, Dyaz Miftah
Layouter: Aufa Rafli
Marcomm: Ghawa Gibran




Tambahkan Komentar