Berteduh di Desa Penggembala

Siang itu cuaca terik, namun tubuh tetap dingin karena aku masih di dalam bus yang ACnya lumayan membuat menggigil. Sejauh mata memandang, jalan menuju desaku bertugas masih berbatu. Aspal yang mengelupas, kerikil dan batu-batu seukuran kepalan tangan yang mencuat turut mempersulit perjalananku. Badan bus terpontang-panting karena melindas batu-batu itu lumayan membuat perut mual.

Menjelang pukul tiga sore, sambil mengucek mata yang masih setengah terpejam, aku turun dari bus yang mengantarkanku ke desa ini. Jalan desa sepi, maklum saja karena masih awal puasa dan waktunya orang melaksanakan ibadah di bulan suci yaitu tidur. Berbeda dengan pinggiran jalan yang ramai dengan umbul-umbul yang sempat menarik perhatianku. Umbul-umbul itu berjejer rapi di sepanjang jalan, padahal yang kuingat Agustus masih sebulan lagi. Tak hanya itu, patok-patok bambu sepanjang 40 senti dicat layaknya bendera Indonesia, merah putih dan ditanam di sepanjang jalalan itu, mengikuti alur umbul-umbul.

Suasana di desa ini layaknya suasana merayakan Agustusan, namun warganya sulit ditemui. Terbukti, aku dan rombongan hanya disambut oleh seorang ibu cantik yang menurutku umurnya belum genap setengah abad. Belakangan baru kutahu bahwa ibu cantik adalah Kepala Desa.

Desa yang akan kutinggali dua bulan ke depan bernama Cikaum Timur, Kecamatan Cikaum, Kabupaten Subang. Namanya terkesan sangat sunda, karena ada awalan “Ci” ciri khas nama daerah di Jawa Barat.

Dipimpin oleh seorang ibu cantik, Dedeh, Cikaum cukup maju. Aku cukup kaget setelah melihat tulisan “Pusat Pelatihan Internet” di depan sebuah bangunan yang terletak tepat di sebelah utara rumah yang kutinggali. Warung internet (warnet) ini dikelola oleh pak Haji Ape, salah satu tokoh agama di sini. Menurut pak Haji Ape, koneksi internet di sini cukup lambat, karena Telkom belum masuk. Alasannya sederhana, “karena kabelnya teh sering dicuri warga”, jelasnya.

Cikaum terbagi atas tiga dusun, 10 Rukun Tetangga (RT), dan tiga Rukun Warga (RW). Menurut pak Denda Hidayat, BPD Desa Cikaum Timur, Cikaum berasal dari kata ngaum yang artinya berhenti atau berteduh. Dulu, Cikaum Timur ini menjadi tempat ngaumnya para penggembala kerbau dan kambing, sehingga terbentuklah nama Cikaum Timur.

Anik Wiati

TanpaTepi adalah Sebuah antologi catatan perjalanan dan observasi lapang Pers Mahasiswa Koran Kampus yang terhimpun dari beberapa lokasi berbeda. Ditulis langsung dengan sudut pandang jurnalistik, dikemas dalam gaya tutur yang berbeda dari tiap penulisnya.

Redaksi Koran Kampus

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.