Aku tiba di desa ini tepat saat matahari mulai merangkak ke ufuk barat. Aku tak sedang liburan, sehingga tak ada losmen atau pun penginapan untukku tinggal. Ibu cantik itu membawa kami ke sebuah rumah kosong milik warga yang belum ditinggali. Rumah itu terletak di sebelah barat jalan raya desa. Halamannya luas, berbeda dengan rumah-rumah sempit di Bogor. Temboknya belum di cat, hanya sudah dilapisi semen kelabu.
Rumah yang kutinggali ini milik seorang janda dengan dua orang anak. Umih Kasih namanya. Saat ini ia dan kedua anaknya serta menantunya tinggal dalam satu rumah. Rumahnya tidak jauh dari rumah yang kutinggali. Ia berencana menempati rumah ini setelah bungsunya lulus SMA. Bungsunya tengah menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah yang berada di Kota Subang, sehingga harus kos di sana. Jika Umih pindah sekarang, ia akan sendirian di rumah ini.
Bang Acep, menantu yang punya rumah dengan mimik muka serius bertanya “Neng jeung Aa teh mau tinggal serumah?” Mamang ini bertanya dengan tatapan menyelidik. Menurut ilmu mata kuliah Dasar-dasar komunikasi, masyarakat desa akan cenderung bersifat menyelidik apabila ada orang baru di sekitar mereka. Kemudian ia menambahkan “boleh saja tinggal serumah, asal tahu diri dan saling menjaga”.
Meskipun tatapannya penuh selidik, mang Acep adalah orang baik dan perhatian, terbukti setelah berbasa-basi denganku dan rombongan, ia pamit dan beberapa saat kemudian ia menenteng sebuah antena baru. “Biar rumah teu sepi, antena yang dulu teh tos rusak”, katanya. Mang Acep dan kawannya saat itu juga mengganti antena televisi yang sudah usang. Apa jadinya apabila televisi ini tak bisa menyala, rumah pasti akan bertambah sepi. “Punten atuh nya teh aa, harusnya mah pake para bola biar bisa nonton piala dunia”, tambah bang Acep dengan logat sunda kentalnya.
Anik Wiati
Tambahkan Komentar