Di Balik Jendela

Gue Fajar. Mahasiswa angkatan 56 yang pernah tinggal di asrama C5. Mungkin kating-kating gue lebih kenal gedung itu dengan nama “Sylvasari”.

Banyak orang bilang, asrama gue ini horor banget. Mana terpencil di tengah hutan, temennya cuma C4, udah gitu gedungnya, ya…gitu. Kalau temen-temen gue (entah kesambet apa main ke C5), mereka selalu bilang hawanya beda. Emang iya, ya? Gue nggak pernah ambil pusing karena gue pikir: asal gue nggak ganggu atau mikirin mereka, ya yaudah, aman.

Tapi malam ini, gue yang baru aja kelar mandi ketemu Rahmat di lobi. For your information, C5 ada tiga tingkat, tapi kamar mandi cuma ada di lantai dasar. Ada sih di lantai dua, tapi itu cuma dua, di sisi kanan-kiri gedung. Jadi buat siapa pun penghuni lantai 3, kudu siap kalau harus turun sendirian malam-malam.

“Dingin banget dah,” celetukan gua ditanggapi dengan decak acuh si Rahmat, sambil nguap, yang abis itu ngomong, “Malam ya dingin lah. Mana ada panas?”

“Abis mandi gue, Bro!” gue melilitkan handuk putih ke leher, kali aja bisa bikin hangat. Gue bahkan sampai gosokking tangan ke kedua lengan. “Aduh, mana teman-teman sekamar gue masih main UNO di kamarnya Syahrul. Tidur sendiri dong, gue? Tambah horor aja.”

Rahmat yang emang dari pertama gue ketemu dia udah nguap-nguap nggak jelas, akhirnya bangun dari kursi di lobi, “Ya udah, gue balik ke kamar dulu, udah ngantuk, besok juga ada kelas pagi.” Sebelum berbalik, Rahmat sempat menambahkan, “Hati-hati lo, Jar. Kemarin Putra ada kejadian yang nggak enak. Dikira belajar bareng Syahrul, tahunya malah setan yang menyamar.”

Gue kaget. Air muka gue jadi aneh tiba-tiba, dengan umpatan yang hampir aja keluar dari mulut gue. Dengan berani, gue senyumin dia, “Kalau ingetin yang kira-kira, dong. Lo nggak mikirin perasaan gue?”

“Nggak. Buat apa?”

Baik banget emang temen gue:)

“Istigfar, deh, gue. Bawaannya pengin ngomong kasar mulu sama lo,” ucap gue sambil menggosok kasar rambut yang masih setengah basah, “Tinggal nggak percaya sama yang kayak gitu, gue aman pasti.”

Rahmat mencebik. “Awas kualat. Nanti nangis baru tahu rasa lu,” ledeknya.

“Udah, deh, mending lo balik. Emosi gue.” Kedua tangan gue bersedekap, kesal dengan kelakuan Rahmat. “Lo bukannya kasih semangat ke gue, malah bikin tambah runyam.”

“Siapa juga yang mau bantu lo?!” Tanpa membalas lagi, Rahmat akhirnya berbalik meninggalkan gue ke kamar asramanya.

Gue langsung membebaskan umpatan yang sudah mengganjal sedari tadi ketika Rahmat akhirnya berjarak dari gue. Temen gue baik-baik banget, emang. Sejujurnya, gue takut. Nggak tahu ya, tapi perasaan gue emang udah nggak enak dari tadi.

Berdeham singkat, gue menyemangati diri sendiri dalam hati. Gua cuma tinggal tidur kalau sudah sampai kamar. Pasti pas subuh, temen-temen gue udah pada balik. Ya, pasti. Gue cuma perlu bertahan sesuai rencana. Pasti nggak sulit.

Sembari menghela napas, gue diam di depan kamar. Perlu beberapa waktu sebelum membuka pintu, berpikir. Setelah lima menit, baru gue berani membuka pintu, pelan-pelan. Pintu berderit begitu dibuka. Dengan hati-hati, gue melangkah sambil menundukkan pandangan. Baru kali ini gue merasa takut sampai menatap sembarangan ke dalam kamar pun nggak berani.

Gue kembali menarik napas lalu berjalan perlahan ke kasur. Perasaan gue mulai nggak nyaman. Beberapa kali gue merutuk karena perasaan takut gue. Kalau Iman sama Nanang balik, dan tahu kalau gue lagi ketakutan kaya gini, pasti gue diketawain sama mereka. Harga diri gue pasti tercoreng. Mau nggak mau sebelum mereka datang, gue harus sudah tidur terlebih dahulu.

Kasur yang gue tempati merupakan kasur dua tingkat. Kebetulan, gue kebagian kasur di bawah, jadi nggak perlu kesulitan naik kayak penghuni kasur atas.

Sayangnya, gue nggak bisa langsung tidur. Perasaan takut nggak bisa dibohongi. Malam ini rasanya beda, belum lagi udara dingin yang sampai ke kamar. Nggak biasanya, karena hampir setiap hari gue dan teman-teman sekamar mengeluhkan udara panas yang lebih sering terasa.

“Heran,” gumam gue pelan. Asli, gue nggak yakin bisa tidur nyenyak malam ini. Otak gue berpikir keras mengatasi permasalahan yang menurut gue sebenarnya cukup sepele. Seketika terlintas di benak gue untuk menjelajah di laman media sosial. Dengan menjelajah sebentar ditambah sambil mendengarkan, bukanlah hal buruk untuk menemani ketakutan gue saat ini.

Dimulailah dari Instagram, menjelajahi laman menggunakan akun pertama gue. Hampir 90% laman berisi paid promote dari berbagai kepanitiaan berbeda. Gue menggelengkan kepala, sedikit mengingat salah satu kendala di kepanitiaan yang gue pegang beberapa hari yang lalu.

Dari Instagram, gue berlanjut ke laman Twitter, menggerak-gerakkan jari ke bawah untuk mendapatkan beberapa cuitan yang ramai. Ada bahasan yang menarik perhatian gue dari salah satu akun base kampus. Iseng, gue pun membaca cuitan dari pengirim anonim tersebut.

“Gila!” umpat gue tak lama setelahnya, bahkan gawai pun gue lempar ke kasur. “Nyesal gue buka!”

Ya pasti kalian tahu lah, itu apaan. Cuitan itu berisi secuil kisah horor, lengkap dengan ilustrasinya. Bikin tambah takut aja.

Setelah cukup tenang, gue ambil lagi si gawai, buka aplikasi Spotify, dan mulai putar lagu di daftar favorit. Begitu di pertengahan lagu ketiga, secara tiba-tiba lagu berganti sendiri. Gue mengernyitkan dahi; perasaan lagu belum selesai, tapi kok sudah ganti? Lagu yang terputar pun hanya berupa instrumen tidak jelas karena terdengar samar-samar. Aneh.

“Jangan becanda,” ucap gue ke diri sendiri disertai umpatan singkat. Suasana hati gue seketika jadi nggak keruan dan gue ingin memperbaiki dengan mendengarkan lagu, lagi. Tapi, kalau udah begini, mau nggak mau gue jadi cemas.

Seketika, telinga gue mendengar suara cekikikan samar-samar. Gue kaget, sampai matiin gawai. Kedua tangan gue tremor, begitu pula jantung gue yang berdetak semakin cepat. Mulut gue komat-kamit, merutuki keadaan gue dan beristigfar secara bersamaan.

Bersamaan dengan kejadian itu, udara dingin di malam hari semakin mencekam. Udara terasa berbeda: sangat mencekik kali ini. Beberapa kali gue menelan ludah sendiri karena rasa gentar. Wangi melati tercium serta-merta. Wanginya semakin lama semakin menguar dan kuat. Awalnya gue berpikir positif karena salah satu teman sekamar gue gemar pakai parfum bau melati, katanya wejangan turun-temurun dari keluarganya. Jadi, bisa saja wangi tersebut berasal dari parfum yang disimpan Nanang. Toh, terkadang memang suka tercium wangi tersebut secara tiba-tiba dan sekilas.

Akan tetapi, wangi melati kali ini berbeda. Wanginya tidak hilang dan cenderung bertahan lebih lama. Tentu saja, mana mungkin seorang gue yang terkadang sok berani itu takut? Ditertawakan Rahmat nanti.

“Astagfirullah! Ya Allah lupa ayat kursi!” Gue frustrasi karena saat ini gue benar-benar ketakutan, bahkan ayat kursi yang sudah gua hapal sejak dulu, ilang gitu aja.

Jendela di kamar gue tiba-tiba terketuk. Gue menengok panik sambil membulatkan mata. Nggak ada siapa-siapa. Mungkin angin lewat sampai bikin jendela terketuk, kali, ya? Ya, mungkin, bisa saja. Nggak akan ada orang iseng, kan? Mustahil.

Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin juga sih, karena dua orang teman sekamar gue, Iman dan Nanang jahil banget ke gue. Bisa jadi itu mereka yang ketik dari luar. Ya.

Gue akhirnya melangkahkan kaki perlahan, mendekati jendela dan mendapati bahwa jendela gue belum tertutup sepenuhnya. Oh, mungkin karena ini terdengar suara ketukan. Bisa saja memang angin malam menggerakkan jendelanya hingga bersuara.

Begitu gue ingin menutup jendela, tak ayal sebuah suara menyapa, “Jar, jendelanya jangan lupa ditutup.”

“Iya,” gue cuma balas kalimat itu dengan tidak peduli, pikiran gue jelas nggak di tempat. Makanya, gue justru menutup rapat jendela.

Eh? Sebentar. Tapi ada yang aneh. Sekilas suara itu emang seperti Iman, tapi lebih rendah dan terkesan dingin.

“Kenapa sih, si Iman? Aneh-aneh sa—”

Wah. Nggak salah lagi.

Parah.

Parah banget!

Begitu menyadari sesuatu yang salah, gue langsung lari terbirit-birit keluar dari kamar asrama. Bahkan, pintu kamar gue lupa gue tutup. Gue lari ke kamar Rahmat, bodo amat harga diri. Siapa sih yang nggak takut kalau kamar asrama yang ditempatinya ini berada di lantai tiga? Apa nggak aneh kalau ada suara dari luar jendela yang dengan mudahnya berbicara tanpa tahu tempat yang didatangi tuh lantai tiga?

Dari saat itu pula gue curiga. Sampai menjelang pagi pun, gue nggak balik ke kamar. Jelas karena sudah terlalu takut dengan kejadian tersebut.

Penulis: Valenda Tunjung Aurin Khatrina
Editor: Farah Diba Aulia

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.