Semburat langit merah dari ufuk timur telah menampakkan dirinya, seorang gadis perempuan menyaksikan bangkitnya sang Bagaskara dari jendela rumah yang terlihat mewah. Pagi telah datang, menunjukkan waktu gadis itu untuk bersiap pergi berangkat kuliah karena ada praktikum yang harus dilaksanakan.
Namanya Anastasia Givanna, namun semua orang menyebutnya Ana. Gadis berusia 18 tahun yang baru menempuh masa perkuliahan tingkat pertama itu dikenal sebagai gadis pendiam yang tidak suka bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, bahkan dengan orang tuanya saja ia menutup diri, entah apa sebabnya.
Waktu terus berjalan, Ana bergegas pergi ke kampus yang bisa dibilang cukup dekat dengan rumahnya. Selain menjalani kehidupan dengan belajar, di kampus Ana juga seringkali menyendiri di perpustakaan untuk sekedar membaca buku atau mengerjakan tugas apabila ia malas pulang ke rumah. Namun ternyata tak jarang ia juga dijadikan bahan rundungan teman-teman sekelasnya. Mereka seringkali mencemooh Ana dengan sebutan “Anti Sosial” akibat sikapnya yang menutup diri dari dunia luar dan apapun ia lakukan dengan sendiri itu. Terkadang juga mereka berani bermain fisik kepadanya.
Misalnya saja, seperti yang terjadi pada minggu lalu, teman satu kampusnya yang terdiri dari tiga orang gadis cantik itu pun kembali membuat Ana menderita, mereka menumpahkan segelas milk tea yang baru saja dibeli ke baju Ana. Terlebih salah satu di antara mereka yang menjadi sosok leader sangat menunjukkan ketidaksukaannya kepada Ana, dan dialah yang paling ‘kejam’ diantara dua lainnya—Bella.
Bella Margaretha, nama yang cukup dikenal pada angkatannya. Bukan karena prestasi, Bella terkenal sebagai gadis angkuh yang seringkali merisak orang-orang yang menurutnya tidak pantas berada di kampus ini.
Ya, tidak hanya Ana yang dibuat sakit secara fisik dan psikis, Bella juga merisak seorang gadis lainnya yang bernama Gita. Hidup Gita tak seberuntung Bella yang seolah dihujani harta yang tidak pernah habis, Gita justru bisa berkesempatan kuliah berkat beasiswa yang didapatnya, hal tersebut juga yang menjadi alasan atas perundungan Bella kepada Gita.
Pagi itu tak seperti biasanya bagi Ana, rasanya Ana merasa sesak sesaat dirinya tiba di kampus. “Mungkin hari ini aku sedang tidak enak badan,” pikirnya.
Ana masuk ke dalam kelas seperti biasa, ia duduk setiap harinya di belakang pojok kanan, di bangku yang paling dihindari oleh mahasiswa lainnya di kelas itu.
Sesaat ia melihat ke sampingnya, terlihat wajah Gita yang pucat pasi layaknya orang sakit dan lemas sekali. Walaupun Ana hanya beberapa kali berinteraksi dengan Gita, tentu Ana tidak bisa membiarkan orang sakit mengikuti perkuliahan. Bukan karena rasa empati, namun hal tersebut akan membuat dosen dan teman sekelasnya tidak nyaman.
“Kenapa, Na? Liat gue gitu amat,” sahut Gita kebingungan.
Ana membuang muka, “Hah? Pede banget! Lagian muka lu, tuh, pucat kayak orang mati. Habis diapain lagi sama Bella sampai sakit begitu?”
Gita tertawa kecil, “Nggak, lah. Bella sudah nggak ganggu gue lagi, yang ada lu ‘kan jadi target selanjutnya, haha.”
“Sialan,” umpat Ana.
“Ana, gue mau ngomong serius sama lu.” Tiba-tiba Gita menyeletuk kembali.
“Tumben banget sok asik, nggak kayak yang lain, tuh, pada ngeledek gue ansos,” jawab Ana dengan ketus.
Gita tersenyum tipis, “Gue diam, Na. Karena gue merasa nggak ada hak untuk sekadar ngobrol sama lu,”
“Lu gak ingat, Na?” lanjutnya dengan lirih.
Ana mengerutkan dahinya, “Kenapa? Soal Bella?”
“ANASTASYA!!!”
Tiba-tiba panggilan berteriak terdengar dari depan kelas yang ternyata itu adalah suara dosen praktikum.
“Kamu, ya. Bapak panggil-panggil nggak nyaut, makin aneh saja!” ucapnya di depan semua mahasiswa dengan nada yang sedikit tinggi
“Sudah gila kali, Pak,” kekeh Bella dan teman-temannya.
***
Di sinilah Ana berada, duduk di antara pohon-pohon rindang yang mengelilinginya di taman belakang kelas. Sambil membaca buku dan mendengarkan musik, ia terlelap dalam imajinasi dan dunianya.
Tiba-tiba rasa sesak itu terasa kembali oleh Ana, dirinya semakin kesulitan bernapas, juga merasa sedikit sakit di bagian kepalanya.
“Na!” Tiba-tiba ada yang memanggil, ternyata itu Gita, masih dengan wajah pucatnya.
Ana menoleh berat, “Kenapa? Tiba-tiba muncul saja sudah kayak setan.”
Gita terkekeh tipis, “Pantas ya nggak ada teman, ngomongnya pedas banget!”
“Iya, memang,” balas Ana dengan ketus.
“Bercanda kali, Na,” ujar Gita menenangkan, “Makasih, ya, Na. Sudah mau ngobrol sama gue,” lanjutnya.
Ana hanya tersenyum tipis.
“Lu masih belum ingat, Na?”
“AAAAAA!”
Suara teriakan itu begitu jelas terdengar Ana dan Gita dari arah toilet perempuan dekat gedung dekanat, suaranya nyaring seperti teriak ketakutan dan sesuatu telah terjadi padanya.
“PAKKK, BUUU… TOLONGGG!!” teriakan seorang gadis itu masih terdengar jelas.
Ana dan Gita memutuskan untuk bergegas menghampiri dan mencari tahu apa yang terjadi.
Begitu terkejut Ana melihat apa yang ada di depannya, matanya seakan hampir keluar dari tempatnya, buku yang sedari tadi ia genggam jatuh begitu saja.
Gita terbaring lemah dan mengenaskan di salah satu toilet, tubuhnya penuh darah, lehernya membiru seakan ada bekas cekikan yang masih baru terjadi, pipinya tersayat-sayat menyisakan lautan darah di wajahnya, dan yang paling mengerikan matanya masih terbuka lebar dengan sklera putih yang hanya bisa terlihat tanpa adanya bola kornea.
Sejenak Ana terpaku dalam diam, tubuhnya bergetar tak karuan di sana, tanpa sadar ia terjatuh saat melihat Gita yang sudah mati mengenaskan di depan matanya. Padahal sebelumnya jelas-jelas Gita baru berbicara padanya.
Dengan cepat kembali sadar, Ana melihat sekitar dan Gita kabur dari indera penglihatannya.
“I-ini, G-gita?” tanyanya kepada gadis yang tadi berteriak, kini Ana terduduk lemah tak berdaya di depan mayat Gita.
“ADA APA INI?! KALIAN JANGAN DI SINI! KELUAR KELUAR!” teriak petugas keamanan yang datang beberapa saat kemudian.
Ana dan gadis itu dibopong keluar oleh tim kesehatan kampus, kemudian di sekeliling toilet itu terpasang garis polisi untuk menghindari kerumunan dan memudahkan evakuasi mayatnya.
***
Masih jelas terbayang wajah Gita di benak Ana, rasanya ia seperti dibawa ke dua dunia sekaligus.
Kini sudah sehari setelah mayat Gita ditemukan mengenaskan di sebuah toilet kampus, masih membekas rasanya ia mengobrol dengan seseorang yang telah meninggal, karena sebelumnya belum pernah ia merasakan hal seperti ini. Ada apa dengannya?
Berdasarkan hasil autopsi sementara, kematian Gita untuk saat ini ditetapkan sebagai korban pembunuhan, entah siapa oknum yang menyelinap masuk ke lingkungan fakultas ini dan membunuh seorang mahasiswi tidak berdosa.
“Bella!! Benar, ‘kan! lu yang bunuh Gita?! JAWAB!!” teriak Sarah, mahasiswi jurusan lain yang menjadi sahabat Gita sedari masa pengenalan kampus. Jelas dirinya sangat marah dan terpukul atas kematian sahabatnya yang tak wajar ini.
Wajah Bella mendadak pucat sesaat ia meninggalkan ruangan BK untuk diinterogasi. Matanya merah sembari menangis, tubuhnya lemas, rambut yang biasanya tertata rapi hari ini dibiarkan begitu saja, terlihat bahwa dirinya sangat panik dengan kejadian ini.
“Bu-bukan g-gue…,” lirihnya lemas sambil dibopong oleh kedua temannya.
Sementara itu, Sarah terus saja mengamuk seraya menyalahkan Bella dan teman-temannya atas kematian Gita.
“Kenapa?! Kenapa lu panik, hah?! Kalo lu gak ngelakuin mana mungkin lu jadi kayak gini?! Dan satu lagi, sore itu lu masih di kampus, ‘kan? Masih sibuk bully Gita ya, lu?!” teriakan menggelegar di tengah-tengah gedung fakultas itu, seakan membuat seluruh aktivitas terhenti sejenak.
Di sisi lain, Ana menyaksikan itu dengan tatapan kebingungan sekaligus miris. Pikirnya, Bella sangat masuk akal menjadi pelaku pembunuhan Gita, karena siapa lagi yang patut untuk dicurigai selain dirinya?
***
Entah mengapa malam ini terasa berat bagi Ana, dirinya seakan terus mengingat kejadian ketika berbicara dengan sosok arwah yang sesaat kemudian dirinya melihat jasad dari arwah tersebut. Rasanya situasi itu terus berkeliaran di kepalanya sehingga Ana sulit untuk tertidur.
Untuk mengundang kantuk yang tak kunjung datang, Ana memutuskan untuk membaca buku sambil mendengarkan musik seperti biasanya. Sampai akhirnya tak sadar dirinya sudah berada di alam mimpi.
“Na, lu masih belum ingat?”
“Na, lu punya janji sama gue.”
“Ana, lu janji ‘kan?”
“Lu janji, gue bisa lawan dan bebas dari dia.”
“Apa ini caranya, ya?”
“Gue udah bisa bebas ya, Na?”
Sontak Ana langsung terbangun dari tidurnya, melihat dan mendengar Gita yang berbicara begitu nyata terjadi, seperti dirinya sedang berada di dekat telinga Ana saat ini.
Namun.. Tak lama setelah itu..
“Iya, sekarang lu sudah bebas,” jawab Ana dengan santai sambil tersenyum lebar, lalu dirinya tertawa dengan kecil.
Lalu kembali tertidur.
Reporter: Amanda Fitria Hastini
Sumber gambar: Freepik.com
Editor : Alam Akbar Al Fatah, Fatin Humairo’
Tambahkan Komentar