
BEM FEMA bersama BEM FAHUTAN dan BEM KM pada Senin (30/4) kemarin mengadakan diskusi dan bedah buku “Reforma Agraria Sektor Kehutanan” terbitan IPB Press. Bahasan tersebut berangkat dari munculnya kerusakan dan ancaman pada sektor kehutanan di Indonesia hingga saat ini. Selain itu, perdebatan terjadi dalam meninjau pengertian tanaman kelapa sawit yang dimasukkan ke dalam pengertian hutan sebagai salah satu jenis pepohonan atau tanaman hutan. Acara yang diselenggerakan di Auditorium Jannes Humuntal Hutasoit, Fakultas Peternakan, IPB itu pun turut menghadirkan berbagai macam Civil Society Organization (CSO), akademisi, dan mahasiswa dari Fakultas Kehutanan, Fakultas Ekologi Manusia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Sawit Watch, Greenpeace, Pusat Studi Agraria, Sajogyo Institut, WALHI, TuK Indonesia, dan BEM KM IPB, pada kesempatan yang dibagi menjadi dua sesi itu para pembicara menyampaikan komentar dan pandangan mereka terhadap buku “Reforma Agraria Sektor Kehutanan”. Penyampaian oleh Satyawan Sunito selaku dosen FEMA mengenai buku tersebut, bahwa buku tersebut berisikan mengenai masyarakat adat, resolusi konflik, serta ekonomi politik dari reforma agraria di kehutanan. Satyawan Sunito menyampaikan bahwa beliau sangat senang karena BEM di IPB dapat menghubungkan kajian mereka dengan oranisasi di luar universitas.
Selain itu, Khalisah Khalid selaku Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Nasional WALHI turut menyampaikan bahwa buku “Reforma Agraria Sektor Kehutanan” merupakan wacana tanding untuk memahami reforma agraria dan kehutanan bagi segelintir elit.
“Reforma Agraria adalah tantangan dan jawaban dari permasalahan sektor kehutanan yang sudah melenceng jauh,” ujar Amir Mahmud, Direktur Eksekutif Sajogyo Institut.
Wiwin dari TuK Indonesia menyampaikan data dari TuK yang menyebutkan bahwa 10 besar stakeholders Indonesia (dalam hal sawit) tidak ada orang Indonesia di dalamnya. Lantas pada kenyataannya di lapang sering kali buruh sawit tidak mencapai kesejahteraan dari penghasilan yang mereka peroleh dari sawit. Petani kini tak lagi memiliki dan menguasai lahan milik sendiri, namun beralih menjadi buruh tani. Hal ini berkaitan pula dengan sistem tenurial.
Reforma Agraria merupakan konsep pembangunan yang fundamental untuk membangun sinergi antara pertanian (ekonomi pedesaan) dan industri. Beberapa audiens menyampaikan pendapat dan pertanyaan dan menghasilkan satu kritik terhadap buku yang menyatakan bahwa buku tersebut belum peka terhadap feminisme. Kritikan tersebut diterima dengan baik oleh editor buku, Eko Cahyono dan akan dijadikan sebagai pembelajaran di khasanah ilmu pengetahuan mendatang.
Alya M
Editor : Tasya Ch
Tambahkan Komentar