Kasus Kekerasan Keluarga Meningkat, Apa Penyebabnya?

Belakangan ini, berita kekerasan dalam keluarga tak henti-hentinya bermunculan di media sosial. Kasus tersebut menimpa keluarga dengan berbagai latar belakang, dari publik figur hingga masyarakat. Hal ini tentu membuat masyarakat khawatir, karena seharusnya keluarga adalah tempat yang aman dan dari lonjakan berita tentang kekerasan keluarga, berita mengenai tren pernikahan yang mengalami penurunan juga menjadi perbincangan publik. Banyaknya kekerasan keluarga juga menjadi salah satu penyebab turunnya tren pernikahan di Indonesia.

Mirisnya lagi, mayoritas korban dari kekerasan dalam keluarga adalah perempuan. Hal ini dibuktikan dengan data hasil survei World Health Organization (WHO) tahun 2018 yang menyatakan bahwa satu dari tiga perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik. Menurut Nur Indah Fajarini, finalis mahasiswa berprestasi IPB yang berasal dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, budaya patriarki adalah penyebab utama dari fenomena ini. “Dalam keilmuan IKK, ada namanya teori struktural fungsional yang berpegang teguh pada budaya tradisional. Nah, karena budaya di Indonesia masih menganut sistem patriarki, seorang perempuan tidak bisa independent. Istri harus ngikut gimana suami, keputusan terbesar ada di suami. Akibatnya ketika perempuan menjadi korban kekerasan, kebanyakan tidak bisa melawan karena sudah tertanam budaya manut kepada laki-laki. Padahal istri atau perempuan juga punya hak untuk melawan dan melakukan hal lain yang bisa mendukung kebutuhan keluarga,” ujar Indah.

Indah mengatakan bahwa terdapat banyak faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam keluarga. Kesiapan pasangan dalam fisik perlu menjadi perhatian untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, terutama pada perempuan yang akan mengandung. Kemudian kesiapan atau kesehatan mental yang perlu dijaga sebelum dan sesudah berkeluarga. Paling terpenting adalah kesiapan finansial dari pasangan, sebab ekonomi merupakan salah satu pilar keutuhan sebuah keluarga.

Kesiapan tiga aspek tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. Pola asuh dan pola edukasi yang tepat akan membentuk karakter serta pola pikir anak dengan baik, sehingga kekerasan dalam keluarga seharusnya tidak akan terjadi. Jika kasus kekerasan keluarga sudah lama terbentuk dan dianggap sebagai budaya lazim, maka akan sulit untuk mengubah perilaku keluarga kecuali mereka mendapatkan edukasi optimal terkait kekerasan. Indah berujar, “Kebanyakan keluarga yang sudah terbiasa menerapkan kekerasan justru tidak menyadari bahwa hal yang mereka lakukan itu salah. Mereka menganggap bahwa kekerasan merupakan cara untuk mendisiplinkan anak. Hal inilah yang kemudian menciptakan pola pengasuhan otoriter.”

Tipe keluarga seperti itu perlu diedukasi agar kekerasan tidak berlanjut. “Pertama, perlunya ada pemahaman dasar terkait kekerasan, sehingga keluarga bisa memahami dampaknya, cara mencegahnya, serta solusi jika memang mengalami. Jika kita memang terlahir di keluarga yang terbiasa dengan kekerasan, maka kitalah yang harus memutus rantai itu sebelum membentuk keluarga baru. Jangan membiasakan kekerasan verbal sekecil apapun, karena kekerasan fisik maupun seksual pada awalnya berawal dari kekerasan verbal terlebih dahulu,” terang Indah terkait edukasi penanganan kekerasan keluarga.

Tentunya upaya pencegahan wajib diterapkan terlebih dahulu sebelum menangani. “Ada 3 cara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam keluarga. Pertama, perlu adanya kesadaran dari diri sendiri atau orang lain, kemudian adanya perubahan dalam sikap maupun perilaku dengan menanam hal positif terhadap diri kita dan keluarga sehingga upaya dalam pencegahan kekerasan dapat diterapkan,” jelas Indah ketika diwawancarai pada hari Rabu, 26 Mei 2024.

Dalam kasus kekerasan keluarga, seringkali anak menjadi saksi perbuatan pelaku terhadap korban. Mereka terpaksa melihat tindakan yang seharusnya tidak pantas dilihat, terutama oleh anak kecil. “Jika anak usia di bawah 15 tahun menyaksikan kekerasan orang tua, mereka pasti bingung karena belum memiliki pengetahuan atau kesadaran tentang cara menghadapinya. Anak pada usia ini seharusnya tidak menyaksikan kekerasan karena dapat meniru perilaku tersebut. Oleh karena itu, perselisihan rumah tangga sebaiknya tidak terjadi di depan anak-anak. Penting juga memiliki rumah yang layak dengan batasan antara orang tua dan anak,” kata Indah.

Jika kita menyaksikan kasus kekerasan, maka kita dapat membantu korban dengan cara melaporkan kasus tersebut pada layanan pengaduan perlindungan perempuan dan anak yang tersedia di setiap kota. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengetahui nomor darurat untuk melaporkan kekerasan agar dapat ditindaklanjuti oleh pihak berwajib. “Meskipun begitu, Aku merasa bahwa penerapan UU tentang kekerasan di Indonesia masih perlu disempurnakan. Karena berdasarkan kasus-kasus kekerasan sebelumnya, kalau nggak diviralkan itu nggak bakalan dieksekusi. Bisa dibilang hukumnya belum merata,” kata Indah saat mengutarakan pendapatnya.

Indah berpesan, “Aku ingin berpesan kepada kita semua yang belum berkeluarga, tanamkan prinsip bahwa yang penting itu bukan seberapa cepat kita bisa mendapatkan jodoh, tapi seberapa siapkah kita untuk membangun keluarga yang berketahanan, sejahtera, dan berkualitas.”

***

Reporter: Diana Rahmawati Pinandita, Najwa Nabila Nuraini, Tri Amanda Putri Harahap, Nabila Farasayu Pamuji

Ilustrator: M. Rasyid Abdullah

Editor: Rafly Muzakki R

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.