Oligarki Televisi

Di sebuah negeri pada suatu masa, tidak diketahui kapan bermulanya dongeng ini. Dongeng yang tak lagi mengisahkan bebek buruk rupa yang menjadi angsa atau dongeng si siput yang mengalahkan kelinci lincah lomba berlari. Ini dongeng yang tentang kotak ajaib yang dapat berbicara, berkisah, bahkan menjadi alat bagi mereka yang menginginkan mahkota raja di sebuah negeri. Dongeng ini disebut: Oligarki Televisi
Oligarki adalah bentuk pemerintahan atau kekuasaan yang dipegang oleh sekelompok elit kecil dari masyarakat. Ketika elit tertentu menguasai sistem maka hal yang dilahirkan hanya memihak elit dan mementahkan kepentingan publik. Hal tersebut terjadi dalam dunia pertelevisian di Indonesia. Oligarki di pertelevisian menghambat keberagam isi siaran dan kepemilikannya.
C R Wright menyebutkan 4 fungsi komunikasi massa, fungsi pengawasan, korelasi, transimisi (budaya dan edukasi), dan hiburan. Bila kita tengok kondisi pertelevisian di Indonesia saat ini tidak begitu memuaskan publik. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa cara terbaik menonton televisi di Indonesia yaitu, “Nyalakan TV, tingkalkan lalu pergilah keluar”. Ketika lembaga penyiaran sudah terjangkit oligarki, publik hanya memiliki dua pilihan: meninggalkan televisi atau menjadi bebal.
Dewan Pers juga telah menjelaskan pada kode etik jurnalistik pasal 1 bahwa “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”. Yang bisa ditafsirkan wartawan memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Akurat berarti dipercaya sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Bila ada kesalahan wartawan dapat segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Hal tersebut tercantum dalam kode etik jurnalistik pasal 10. Publik dapat menuntut haknya untuk mendapatkan informasi yang akurat dan faktual. Jika ada pelanggaran kode etik jurnalistik maka pelanggaran akhirnya ditentukan oleh Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Namun ketika para elit dalam oligarki televisi memiliki keinginan kotor dan wartawan hanya tunduk untuk mendapatkan nafkah. Publik lah yang lebih harus lebih cerdas dalam mengolah informasi yang diterima serta memproteksi dari hal negatif dari siaran televisi. Elit oligarki perlu tahu bahwa publik tidak diam. Belakangan muncul perlawanan seperti Petisi untuk Menghentikan Tayangan YKS, Remotivi komunitas yang mengkritisi tayangan TV selama 24 jam, TV komunitas yang berjuang melakukan fungsi komunikasi massa yang positif, dan individu-individu yang menjadi media watch independen. Sementara yang lain dapat menunggu di depan sofa datangnya waktu elit-elit oligarki televisi tersebut tenggelam, karena dalam dongeng oligarki lebih banyak yang berujung hitam.
Tulisan disarikan dari berbagai sumber, termasuk film dokumenter “Oligarki Televisi” karya Erlan Basri.
Fadhli Sofyan
Redaksi Koran Kampus

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

1 Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

  • cakep nih tulisannya.
    cuman sayang kurang di-explore lagi
    banyak point point penting terkait adanya oligarki televisi yang bisa diangkat mengingat situasi sekarang,khalayak ramai berbicara tentang keberpihakan stasiun televisi pada hal-hal tertentu.
    Yang saya yakini sebenarnya motivasi diangkatnya tulisan ini berangkat dari situasi Indonesia saat ini pastinya.

    Dan menurut pendapat pribadi saya,contoh dalam tulisan mengenai penghentian tayangan YKS agak kurang tepat jika disandingkan dengan tema tulisan mengenai Oligarki Televisi ini.

    Sukses terus korpus IPB…