“Kita balas di UAS.”
Sebagai seorang mahasiswa, pasti kalian sering mendengar kalimat itu, bahkan mungkin sudah muak? Pernyataan itu sudah mendarah daging menjadi sebuah budaya, baik untuk mahasiswa baru maupun mahasiswa yang sudah senior.
Pernyataan “kita balas di UAS” sering digunakan oleh mahasiswa sebagai bentuk semangat balas dendam akademik terhadap kekecewaan mereka ketika mendapatkan hasil yang kurang memuaskan di Ujian Tengah Semester (UTS). Mahasiswa sering menjadikan pernyataan tersebut sebagai motivasi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik ketika Ujian Akhir Semester (UAS).
Kalimat tersebut akan terdengar “sakral” ketika kita tidak mampu mewujudkannya. Sebab usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil, oleh karena itu perlu sebuah aksi nyata untuk mewujudkan pernyataan tersebut menjadi kenyataan. Sekarang bayangkan saja, siapa yang tidak mau mendapatkan predikat cumlaude? Setiap mahasiswa yang berpikir, pasti ingin mendapatkan hasil yang baik entah ketika ujian ataupun ketika nilai akhir telah keluar.
Menunda pembuktian sampai UAS bisa berisiko jika tidak diimbangi dengan persiapan yang matang. UAS juga bukan satu-satunya penentu nilai akhir. Masih banyak cara yang bisa mahasiswa coba untuk menaikkan nilai akhir, seperti nilai tugas, nilai proyek, nilai keaktifan, dan sebagainya.
Lantas, apakah fenomena “balas di UAS” adalah suatu hal yang baik? Tentu itu adalah hal yang baik, bila kita benar-benar mewujudkannya. Namun, kenyataannya tidak demikian. Banyak mahasiswa yang mendapatkan nilai lebih buruk dari UTS. Hal tersebut disebabkan karena umumnya, materi di sesi UAS jauh lebih sulit dari sesi UTS.
Mengubah Kebiasaan Belajar
Daripada membalas di UAS ataupun membalas di semester berikutnya, bagaimana jika kita memperbaiki kebiasaan dan cara kita belajar?
Cara kita memahami materi di kelas, akan sangat mempengaruhi hasil ujian nanti. Seringkali, memang mahasiswa masih mampu untuk memahami topik atau materi yang disampaikan oleh dosen di kelas. Namun seiring berjalannya waktu, banyak dari mereka yang melupakan materi tersebut. Hal ini terjadi karena mahasiswa seringkali lupa untuk melakukan recall atau meninjau kembali materi yang telah dipelajari.
Pembelajaran sebelum dan sesudah kelas sering kita pilih sebagai opsi. Itu baik, tapi apakah kita akan selalu ingat dengan proses belajar yang seperti itu? Apakah kita mampu konsisten dengan cara belajar yang seperti itu?
Menurut saya pribadi, personalisasi cara belajar masing-masing itu penting. Sehingga, kita tidak bisa menyamaratakan cara kita belajar. Setiap orang punya gayanya masing-masing dan itu adalah hal yang lumrah.
Namun, dilansir dari artikel di Ruangguru, ada sebuah cara agar otak kita berjalan dengan optimal ketika belajar. Kita bisa menerapkan teknik Pomodoro yaitu sebuah teknik membagi waktu kerja atau belajar menjadi sesi fokus dan istirahat pendek.
Teknik Pomodoro dapat membuat kita menjadi lebih fokus dan produktif. Dengan membagi waktu per sesi, kita akan mengurangi keinginan menunda-nunda (prokrastinasi). Bahkan, dengan sesi waktu yang relatif pendek (umumnya 15-30 menit per sesi) kita bisa bekerja atau belajar lebih efektif karena adanya tenggat atau durasi yang jelas.
Umumnya teknik ini digunakan untuk meningkatkan produktivitas kinerja otak. Kalau anda adalah tipe orang yang suka menunda-nunda atau bahkan tidak terbiasa untuk belajar mandiri, mungkin teknik ini cocok untuk anda terapkan.
Membalaskan Dendam
Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, fenomena “balas di UAS” akan menjadi omong kosong belaka bila kita tidak mewujudkannya dengan cara belajar yang baik. Imbasnya, kita selalu berdalih menaikan IPK di semester depan padahal belum ada aksi nyata dan usaha untuk pernyataan itu.

Berkaca dari hal tersebut, tentu akan timbul kekecewaan bila kita tidak berhasil “membalas” di UAS. Mungkin, pernyataan “kita balas di UAS” akan diganti menjadi “kita balas di semester depan.” Miris bukan?
Lantas akan sampai kapan kita membawa janji balas dendam itu, sampai lulus kah?
Justru menurut saya, balas dendam yang baik bukan hanya sebatas mendapatkan hasil yang lebih baik di UAS maupun di nilai akhir. Membalaskan dendam di momen-momen yang ideal adalah sebuah kebohongan. Waktu yang ideal tidak akan pernah datang, justru kitalah yang harus mengidealkan waktu.
Apa yang akan menjadi penentu adalah cara kita komitmen terhadap pernyataan tersebut, mengubah cara belajar menjadi lebih efektif adalah salah satu caranya. Jangan hanya menjadikan kalimat tersebut sebagai penenang atau motivasi belaka. Kalimat itu memang baik, tapi anda harus bisa mewujudkannya menjadi sebuah keniscayaan.
***
Reporter: Muhammad Diki Syawaludin
Editor: Nabila Farasayu Pamuji
Ilustrator: Shalima Azka Suryana




Tambahkan Komentar