Artificial Intelligence Ungguli Raksasa Animasi Jepang, Simak Tanggapan Dosen Arsitektur Lanskap IPB

Dunia maya masa kini lekat dengan penggunaan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI), yang masif. Reputasi AI di segala kalangan melejit pasca pandemi, ketenaran kecerdasan karya manusia mulai dikenal dan digunakan secara meluas. Berbagai perangkat AI, seperti ChatGPT, Grok, Meta, DeepSeek, dan serangkaian situs lainnya adalah nama besar yang kerap berinteraksi dengan pengguna teknologi digital dan secara natural menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Bahkan, untuk mengejar kemajuan zaman yang serba kilat, banyak aplikasi dimutakhirkan agar versi terbarunya kompatibel dengan AI.

April ini, media sosial gempar dengan kemunculan gambar-gambar Ghibli versi AI. Open AI, melalui pembaruan ChatGPT 4.o, menambahkan fitur yang memungkinkan pengguna untuk mengubah foto yang diunggah menjadi model animasi beken milik Studio Ghibli. Karya “seni” ini kemudian diedarkan oleh akun-akun besar di X, Instagram, Facebook, dan media sosial lainnya hingga menjadi sebuah tren. Tentu, kehadiran mainstream ini menimbulkan kontra yang disuarakan lewat cuitan-cuitan. Pernyataan Hayao Miyazaki pada tahun 2016 mengenai penggunaan AI dalam sinematografi Ghibli kembali mencuat sebagai dalih. “Saya sangat merasa bahwa ini adalah sebuah penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri,” sebutnya. Selain itu, banyak yang berpendapat bahwa penggunaan AI untuk menciptakan gambar animasi merupakan sebuah penistaan terhadap pegiat seni, terutama ilustrator dan animator.

Dr. Akhmad Arifin Hadi, S. P., M. ALA., Dosen Departemen Arsitektur Lanskap IPB, angkat bicara mengenai tren Ghibli AI dalam wawancara bersama Koran Kampus IPB (11/04/2025). “Menurut saya sah-sah saja, karena kita tidak bisa mencegah dan juga hal tersebut untuk kesenangan pribadi,” ungkapnya. Pernyataan tersebut disambung dengan pendapatnya mengenai hak cipta, “Kalau untuk hak cipta, misalkan saya mengobrol dengan ChatGPT, dia tidak klaim hak cipta. Itulah yang membedakan karya satu dengan karya lain. Kalau hasilnya sudah keluar, karya AI tidak memiliki hak cipta sendiri.”

Sumber: M Raflie Ghaisan

Dampak AI terhadap ketenagakerjaan, terutama ilustrator dan animator, terlihat begitu nyata di lapangan. Akhmad menyebut bahwa kemunculan AI menyebabkan berkurangnya kreativitas dan lapangan pekerjaan, termasuk dosen dan guru. Menurut Akhmad, selama animator, ilustrator, pengajar, dan lainnya tidak kreatif, manusia akan merasa tertinggal dari AI serta terganggu akan kehadirannya. Namun, kehadiran AI juga menciptakan banyaknya peluang pekerjaan baru. Ia membeberkan, “AI bisa dijadikan rekan dan referensi belajar untuk kedepannya, agar lebih kreatif dari AI.”

Berbicara mengenai AI, Akhmad menyampaikan saran untuk pegiat seni masa kini agar lebih menonjolkan sisi humanis yang tidak dimiliki AI. Ia melampirkan harapan untuk kemajuan AI supaya menjadi kawan untuk menghadapi dunia yang mulai tidak pasti. “Saya gak yakin AI punya emosi. Saya berharap AI jangan menambah masalah di dunia ini,” tutupnya.

***

Reporter: Fiqha Savara, Matta Cinta, Fera Kristanti

Editor: Nabila Farasayu Pamuji

Fotografer: Muhammad Raflie Ghaisan Destiant

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.