Sang Peramal

Kalyn menatap Aosha yang terbaring tanpa daya di atas dipan. Sisa-sisa kehebatan peramal itu seakan hilang ditiup angin dalam sehari semalam. Kalyn membenci dirinya sendiri saat perasaan senang menyusup ke relung kalbunya. Sekarang, neneknya tidak lagi bisa menepuk pundaknya tiba-tiba dan mengucapkan serentetan masa depannya yang betul-betul bakal jadi nyata.

Aosha sudah pernah meramalkan cowok pujaannya lebih menyukai gadis lain. Kendati itu benar, Kalyn lebih suka neneknya itu diam saja hingga takdir memainkan perannya sendiri. Dia tidak suka bocoran masa depan. Dia suka masa depan yang misteri dan penuh rahasia. Baginya, orang yang memain-mainkan takdir seperti neneknya itu adalah satu hal yang salah.

Tentu saja pendapatnya berseberangan dengan pengusaha tembikar kaya yang makin ingin meraup untung dan bangsawan dari ibu kota. Dan itu pulalah yang membuat keluarganya masih bisa makan esok hari, sebab bisnis barang antik ayahnya bukannya selaris bisnis ramalan neneknya.

Tiba-tiba mata Aosha yang menutup membuka lebar. Kalyn menahan diri untuk tidak menjerit kaget.

“Aku melihat…,” Suaranya luar biasa serak. Tangannya terulur pada Kalyn, “Sesuatu… yang buruk….”

Ayah Kalyn buru-buru mendekati ibunya dan menggenggam tangannya erat. “Jangan paksakan dirimu, Aosha. Tabib akan segera datang. Bersabarlah hingga saat itu tiba.”

“Buruk.…” Aosha seakan tidak mendengar ayahnya atau bahkan menyadari kehadiran pria itu. Kalyn tidak bisa menahan diri untuk tidak bergidik jengkel. Neneknya benar-benar selalu keras kepala mengenai ramal-meramal.

“Desa ini.…” Aosha terus menceracau. Bau napasnya kian memenuhi ruangan kecil ini, membuat Kalyn ingin segera menghentakkan kaki dan pergi. “Desa ini dalam bahaya… tapi aku tidak bisa… aku butuh.…”

Tangan Aosha menyentak genggaman ayah Kalyn. Sebagai gantinya, dia kembali menunjuk cucu perempuannya.

“Aku membutuhkanmu.…”

Aosha belum menyelesaikan kalimatnya, tetapi Kalyn tahu.

“Tidak!” pekiknya keras-keras, menahan diri dari semburan angkara. Bagaimana pun Aosha masih neneknya dan dia sakit.

“Hanya kamu.…”

“Kubilang tidak!” Kalyn ingin membuka pintu dan kabur. Namun, dia tidak bisa bergerak. Uluran tangan Aosha ke arahnya seakan mengunci Kalyn, membuatnya getir.

Dia bukan penyihir! Gadis itu panik. Dia tidak bisa membuatmu membeku seperti ini. Bangun! Bangun!

“Kal, desa ini dalam bahaya….” Tatapan Aosha kemudian mengarah tinggi ke langit. Ayah Kalyn yang mengetahui tindak wanita itu buru-buru memekik,

“Jangan menerawang lebih jauh, Aosha! Tabib akan segera datang, dia.… “

Terlambat. Manik Aosha telah berubah hijau. Dengan satu tarikan napas penghabisan, dia menyampaikan ramalannya yang terakhir.

“Desa ini dalam bahaya.… darah.… desa ini akan kehilangan banyak hal.…”

Kemudian pintu kamar menjeblak terbuka dengan suara keras. Sang tabib berdiri di baliknya dengan napas terengah-engah, tetapi sudah tidak ada yang bisa dia lakukan.

***

Pasca kematian Aosha, Kalyn terus-menerus mendengar bujukan hingga ancaman untuk meneruskan peran neneknya.

“Bukan matamu yang nantinya jadi hijau dan diteror malapetaka!” Di saat-saat Kalyn tidak bisa lagi menoleransi batas-batas keinginan picik orang desanya, dia akan berteriak dan membocorkan semua efek samping anugerah Aosha–sesuatu yang tidak diketahui penduduk desa dan yang terus mereka masa bodohi.

Namun, bisnis barang antik keluarganya terus menurun dengan konstan. Ayah Kalyn memang tidak mengatakan apa-apa. Dialah yang paling mengetahui siklus peramal Aosha. Akan tetapi, pria itu tetap menyatakannya secara tersirat lewat helaan napas dan tatapan menerawang pada piring makan mereka yang sepi.

Ibu Kalyn, sebaliknya, memaki apa saja agar putrinya itu bisa menyerah.

“Kamu ingin kita makan selada asin dan ubi tiap hari?!” Setiap itu terjadi, ayah Kalyn tidak pernah ada atau memang sengaja tidak ikut serta. “Hanya kamu keturunan perempuan yang Aosha miliki! Apa susahnya melakukan ritual itu dan jadi kaya?!”

Ibunya sama sekali tidak menyinggung ramalan terakhir Aosha, padahal bisa jadi itu kartu AS untuk mematahkan tekad Kalyn. Pada akhirnya, terawangan itu menguap begitu saja–terlupakan oleh satu-satunya tiga pasang telinga yang mendengarkan.

Namun, semua itu kedamaian palsu. Malam, tiga hari setelah kematian Peramal Agung Aosha, desa mungil di samping rimba itu diserang.

Mula-mula asap membumbung tinggi di tengah keremangan bulan mati dan lentera-lentera redup. Kemudian ledakan, pekikan.

Kalyn terbangun lebih dulu sebelum ayahnya datang dan menjelaskan semuanya.

“Suku Selatan menyerang.”

Suku Selatan terdiri dari orang-orang nomadem berkulit cokelat terbakar matahari. Selama berbulan-bulan mereka tengah berperang dengan Kerajaan. Namun, teknologi primitif mereka tidak berdaya di hadapan ketapel lempar raksasa dan tombak-tombak kesatria Kerajaan.

Selama berbulan-bulan itu mereka bagaikan nyamuk yang hanya perlu ditepuk dan diinjak—menyerang sia-sia ibu kota dengan keterbatasan senjata dan personel. Namun, kini, entah mengapa, mereka membalikkan jalur peperangan pada desa kecil Kalyn.

Atau lebih tepatnya, mereka membagi pasukan dalam dua serangan berbeda.

“Keluar dari sini!”

Ledakan menyuul.

Kalyn membuka jendela keras-keras dan melompat ke udara terbuka.

Merah sepanjang mata memandang. Lidah api berkilat-kilat seperti penari, meretihkan rumah-rumah dan pepohonan. Kalyn melihat penduduk desanya berlarian melewatinya, mmbawa serta semua yang bisa mereka bawa. Namun, tak beberapa lama, menyusul mereka adalah para suku Selatan.

Mereka mengacungkan sesuatu yang mirip ujung kail pancing. Panah-panah mendesing, satu mengeai seorang wanita dengan bayi di pelukannya. Mereka roboh seketika.

Desa kecil mereka adalah pemukiman yang sepi. Kesatria Kerajaan atau armada tentara hanya mimpi. Yang mereka punyai tinggal pekebun bersenjatakan garu.

Dan itu tidak cukup melawan api.

Kalyn ingin sekali menengok untuk melihat posisi ayah dan ibunya, tetapi sebatang panah lewat tiga senti dari hidungnya.

“Lari ke hutan!”

Kalyn tidak tahu apa yang merasukinya. Dia menggemeretakkan gigi dan mulai berlari, menyerobot orang-orang yang menghalangi jalannya, mayat-mayat yang mulai bergelimpangan. Terus, terus berlari hingga barisan pepohonan kian rapat.

Kalyn memanjat tepat waktu ketika salah satu senjata kail pancing Selatan hampir menggorok lehernya. Gadis itu dengan lihai melompat dan meraih ranting terdekat kemudian meloncat ke ranting berikutnya. Bergalntungan dan melompat bergantian, bagaikan kera—yang bukanlah hal sulit dalam bekas keahlian kanak-kanaknya.

Namun, sampai kapan dia harus berlari? Ujung hutan ini adalah jurang, jika hal terburuk harus terjadi.…

Kalyn salah mengambil pijakan dan terjatuh keras ke tanah. Dia menggerang keras, tetapi untungnya masih bisa merasakan tulangnya bergerak.

“Ini dia si pengecut.”

Kalyn menegakkan kepala. Dia awalnya tidak bisa melihat kecuali cakaran ranting pepohonan di atasnya. Namun, seiring tiap ledakan dan nyala api baru, dia bisa melihat penyintas desa tengah mengerubunginya. Totalnya lima, masing-masing dengan wajah mengeras.

“Kalau kamu tidak manja dan segera menjalankan ritual peramal, kita pasti tahu suku Selatan akan menyerang!”

Kalyn ingin berdiri dan balas berteriak bahwa dia tidak manja, bahwa orang-orang ini sama sekali tidak mengerti konsekuensi dari mampu membaca masa depan. Namun, dia mendapati dirinya terlalu gemetar untuk melakukannya.

Dia benar.

Diamnya Kalyn membuat empat orang lainnya kian beringas.

“Kamu biarkan desa kita terbakar!”

“Semua anakku mati!”

“Sekarang bagaimana caramu bertanggung jawab, Kal?!”

“Semuanya hentikan.” Kalyn awalnya tidak bisa mengidentifikasinya. Namun, kini suara lelaki itu menyadarkannya. “Kal, berdiri.”

Ditatap dengan garang oleh empat orang di sekelilingnya, Kalyn mengambil risiko dengan berdiri dan menatap Jackal.

“Yang kita perlukan sekarang adalah kerja sama bukan saling memaki. Mari kita menyusun siasat. Kalian semua carilah penyintas yang tersisa, kumpulkan di sini. Namun, aku butuh satu orang untuk tetap tinggal. Lakukan dengan cepat, kita dikejar waktu”

“Lalu bagaimana dengan—”

“Kal akan melakukan ritualnya.” Jackal memotong tegas. Ditatapnya Kalyn dengan sorot menusuk yang mengerikan. “Atau kamu ingin desa dan nyawamu hancur?”

Jackal selalu main otoritas seperti ini, tetapi itu karena dia memang tahu cara memegang kendali keadaan. Dan itu jugalah yang membuat Kalyn dulu menyukainya.

Dulu.

Kalyn menggemeretakkan giginya. “Aku akan melakukannya, tapi jelas bukan karenamu.”

Jackal melemparkan belati yang selalu dia bawa di pinggangnya. “Jangan khawatir, aku sendiri yang akan memastikannya.”

***

Kalyn hafal ritual peramal di luar kepala. Sejak dulu Aosha selalu merecokinya tentang segala tetek-bengek upacara kecil tersebut hingga Kalyn yang bersumpah tidak akan melakukannya mau tak mau mengetahui kronologisnya.

Gadis itu menggores telunjuknya dan menjatuhkan darah ke tanah. Rasanya sakit sampai dia ingin melolong kalua saja Jackal dan seorang penyintas tidak menonton dengan tatapan meneliti—apakah Kalyn melakukan tindakan asal-asalan atau itu memang bagain dari ritualnya.

Kalyn menekuk satu lututnya dan menyentuh tanah tempat darahnya tadi menetes. Dia merasa kembali ke masa-masa ketika Aosha menahan bahunya untuk memaksanya mengucapkan kata-kata ritualnya.

Di atasku rat, di bawahku zamin.” Kalyn mengatur napasnya. Dia bisa merasakan angin tiba-tiba berhenti bertiup. “Di hadapanku kelak, di belakangku lepas.”

Maka perkenankan netraku zamrud, tanganku petik.

Abuku jelmaan takdir episodik

Untuk seluruh sinambung kodrati

Tunjukkanlah kelak untuk sang adipati.

Kalyn mengukir satu aksara rumit dengan darahnya dan berteriak keras-keras dari dalam kalbunya atas nama para leluhur.

Berikutnya sesuatu menghantam kepalanya. Kalyn melihat lusinan gambar bergerak acak bagaikan pola awan yang terus berganti. Pusing menerpanya mati-matian. Kalyn tidak tahu apakah dia mengeluarkan suara melenguh atau mencicit, tetapi Jackal tiba-tiba bersuara.

“Fokuskan dirimu pada satu gambaran yang penting.”

Dan Kalyn melakukannya. Dia benci harus bergantung pada Jackal dan bahwa sarannya ternyata berhasil. Kalyn menangkap gambaran suku Selatan yang menyulut api kemudian gambaran itu dengan sendirinya memberinya akses pada bocoran masa depan.

Kalyn tidak tahu berapa lama dia mencecap bayang-bayang itu hingga seseorang menepuk pundaknya dan seluruh pertunjukan bayangan buyar seketika.

“Mata hijaumu menggelikan.”

Jackal berjongkok di hadapan Kalyn dengan si penyintas berdiri di sebelahnya.

Kalyn mendengus dan bangkit tanpa repot-repot meminta pertolongan lelaki itu. “Berterima kasihlah padaku atas informasi penting ini.”

***

Aosha bukan penyihir. Kalyn tidak tahu dari mana neneknya itu bisa mendapatkan anugerah meramal yang hanya dapat dijelaskan melalui kemustahilan sihir. Namun, bahkan tak seorang pun penyihir yang berbasis di ibu kota dapat mencuri kepingan-kepingan masa depan.

Yang Kalyn tahu dan semua orang percayai adalah bahwa desa menganugerahi Aosha dan keturunannya. Bagaimana pastinya, tidak ada yang tahu. Jelasnya, bahwa tiap kali desa diserang bahaya, ramalan akan menjadi lebih jelas sebagaimana yang semua penduduk inginkan untuk tetap bertahan hidup.

Para penyintas lainnya tiba tak lama kemudian. Jumlahnya kini bertambah sepuluh. Namun, waktu mereka kian menipis. Kalyn bisa merasakan udara di sekitarnya menghangat dan paru-parunya mulai sesak akibat asap.

“Mereka akan terus mengejar kita sampai ke jurang.” Kalyn mendapati dirinya bersuara dengan penuh otoritas dan ketegasan seperti Jackal. Menyenangkan juga rasanya mengetahui sesuatu yang tidak siapa pun ketahui. “Rencana mereka adalah membuat kita mundur hingga tidak punya pilihan selain menyerah atau menjatuhkan diri. Jika kita menjatuhkan diri, sudah jelas kita mati. Jika kita pura-pura menyerahkan diri, ada kemungkinan kita menang.”

“Apa yang kamu lihat jika kita menyerahkan diri?”

“Kita akan dijajarkan di depan api unggun untuk diadili, diputuskan akan digunakan sebagai apa dan bagaimana. Pada saat itulah kurasa kita bisa membalikkan keadaan jika kita bisa meyakinkan mereka dan memanfaatkan api unggun.”

Gumaman-gumaman tak jelas mulai memenuhi udara, tetapi Jackal lebih dulu mengangkat tangannya. “Baiklah, ayo kita lakukan.”

***

Beberapa tahun yang lalu …

“Jackal, dengarkan! Ini bukan main-main!” Seorang pria tangan lelaki itu untuk mendekat. “Jangan pernah mendekati Kalyn lagi di luar batas pertemanan. Kita adalah Penjaga Peramal. Kita tidak boleh menjalin hubungan lebih dari itu.”

“Tapi, kenapa?” suara Jackal dibumbui kemarahan yang padat. “Kal belum tentu akan menjadi—”

“Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak.” Suara ayahnya bagaikan gesekan belati. “Desa ini membutuhkan peramal, kita semua tahu itu.”

“Tapi aku menyayanginya!” Jackal meradang. Nyaris saja kata yang lebih tinggi tergelincir oleh lidahnya.

“Kamu bisa menyayanginya dengan cara yang berbeda.”

“Itu tak sama!”

“Jackal.” Ayah lelaki itu meninggikan volume suaranya. “Seorang peramal bukanlah sosok yang stabil. Terkadang terawangan membuat mereka gila. Di sanalah tugas kita sebagai penjaga untuk menenangkannya. Tapi kita tidak boleh terlibat secara langsung bahkan menyatakan terang-terangan bahwa ‘Akulah Penjagamu’.”

“Jadi Aosha selama ini tidak tahu bahwa ayah menjaganya?”

“Tentu saja.” Sang ayah menjawab singkat. “Kalau kamu menyayanginya, Jackal, kamu akan menjaganya seperti yang ayah dan keturunan kita lakukan selama ini.”

 

Reporter: Fida Zalfa Lathifah Yasmin

Editor: Fatin Humairo’

Ilustrator: Adisya Nandita

Redaksi Koran Kampus

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.