Sinar matahari pagi ini terasa menyengat dengan semilir udara menimpa wajahku. Kakiku berhenti melihat ke arah majalah dinding di kampus yang bernama Madaharsa Rasmi, nama yang indah itu milikku. Aku mengangkut banyak buku di tangan kecilku, melanjutkan langkah menuju perpustakaan. Mulai mendekati meja ibu pustakawan, mengambil satu buku dan menyerahkan sisanya. “Sendiri mulu Neng, kapan nih ada yang nemenin?” ejek Ibu Sri dengan tawa kecilnya.
“Sendiri lebih baik, Bu. Kemarin saya dengar orang ngomong kalau Romeo rela mati untuk Juliet, Jack mati karena menyelamatkan Rose. Intinya, kalau tetap mau hidup, jadilah single,” jawab aku dengan narsis, Ibu Sri hanya menatapku dengan malas. Aku berjalan mendahului, tanpa mendengar kelanjutan pembicaraannya. Mengambil tempat duduk dekat jendela kaca besar, bayangan sinar matahari menyusup menimpa wajah.
Tiba-tiba ada yang menarik bangku di depanku “Hai! Juliet.” Aku menatap dengan tatapan yang aneh, bagaimana bisa seseorang yang tidak pernah aku temui lalu sok kenal begitu saja. “Santai aja kali, jangan julid gitu. Kenalan dulu kita, gue Darsa Guinandra, panggilannya Romeo,” baru pertama kali melihat orang gila masuk ke perpustakaan, beranjak dari bangku dan melangkahkan kakiku dengan cepat untuk menjauhinya.
“Eh, jangan tinggalin Romeo, dong!”
Ibu Sri menatap marah ke arah kita berdua. “Kalau mau berisik di luar sana!”
Sebenarnya aku ingin menjawab, Ibu Sri ‘kan teriak juga, berarti dia juga salah alias melanggar aturan, untungnya pemikiranku masih jernih demi tetap menjalani hubungan yang baik dengan dia. Ini gara-gara si Romeo menghancurkan mood-ku saja. Aku siap menyemburkan amarahku, dengan segera berhenti dan menengok ke belakang, tapi aku tidak menemukan si Romeo kw itu lagi.
Warna matahari mulai memudar, langit mengeluarkan warna jingga yang indah. Menunggu kedatangan bus di halte, mendengarkan musik galau—istilahnya tetaplah galau walau tidak ada yang menyakiti. Suara gesekan kaki dengan jalanan terdengar semakin keras, aku menolehkan kepala, bertatap mata, ternyata itu!
“Heh! Romeo kw! Tadi gara-gara elu gue dimarahin sama Bu Sri, main kabur aja!” teriakku sambil menunjuk ke arahnya.
“Emang kita kenal, ya? lagian siapa lagi Bu Sri? orang gila kali ya. Sokap banget.” Dia mendorong bahuku dengan kencang, aku hampir saja terjatuh jika tidak berpegangan dengan tiang halte. Aku menatapnya tidak percaya, bus datang dan dia segera menaiki tanpa menatap kembali, apalagi menolong. Perasaan apa ini, seakan kecewa karena penolakan darinya. Tiba-tiba hujan turun deras disertai dengan petir, bus tujuanku pun datang, aku menyadarkan diriku dan segera naik.
“Mada, ayo makan dulu. Mamah masak indomie kuah, enak banget emang kalau hujan begini.” Aku mendekati mamah di meja makan, menyeruput indomie yang tidak terkalahkan itu. Mamah melongo melihatku.
“Minimal duduk, Dek!” ucap kakak Lasa. “Tolong buatin lagi dong, indomienya dua pakai telur, pakai cabai.”
Mamah menatap tajam ke arahku, “Itu minta tolong apa request?” ucap mamah sambil berjalan ke dapur.
Jujur saja, pagi ini aku hanya ingin melakukan satu kegiatan, yaitu rebahan. Tapi papah bilang, hari ini wajib olahraga, tidak boleh ada alasan apapun buat menolak. Sebagai anak yang berbakti, aku segera beranjak dari kasur untuk pergi jalan-jalan ke taman, tujuannya bukan olahraga sih, tapi makan bubur. Di taman aku melihat sosok yang aku kenali, dia pun melambaikan tangan dan melempar senyum ke arahku. Aku mendekatinya, dan….
PLAK!
“Dasar Romeo kw nggak ada hati.” Aku menampar kencang wajahnya, dia hanya bisa meringis sambil memegang pipinya.
“Kenapa ditampar sih?”
Aku menatapnya dengan tajam, “Pakai nanya lagi! Nggak ingat apa, kemarin dorong gue sampai hampir jatuh.” Tubuhnya menegang mendengar penuturanku. “Kenapa? Perlu ditampar lagi biar ingat?” Tiba-tiba matanya berair. “Eh, kok jadi elu yang nangis, ‘kan elu yang salah?” panikku sambil mengguncang tubuhnya.
“Ma-af ya, gue bakal jelasin.” Nafasnya seakan tersendat, karena tidak tega aku menepuk bahunya.
“Ya sudahlah, lupakan saja. Mungkin kemarin elu kerasukan, jadi pura-pura lupa sama gue,” ucapku dengan nada pelan, bingung sebenarnya kenapa jadi aku yang merasa bersalah.
***
Empat tahun sudah aku habiskan di kota Makas, artinya sudah dua tahun aku tidak mendengar kabar Mada. Terakhir pembicaraan kami tidak berujung baik, hanya menimbulkan kecanggungan bahkan lost contact. Orang tuaku yang keras dan tegas membuat aku tumbuh menjadi sosok yang tegas dan keras. Tapi kalau dengan Mada, aku merasa lebih santai, sering bercanda. Setelah lulus, kita bekerja di kota yang berbeda, jadi tidak pernah bertemu, bahkan kalau chat jarang banget.
Di tahun kedua di kota Makas, saat teleponan tiba-tiba, “Tumben minta teleponan, kenapa?” ucapku.
“Nggak apa-apa, sih, sebenarnya sekalian mau tanya kabar elu gimana di sana?” ucap Mada.
“Baik sih. Mada aku lagi sibuk. Bisa ngomongnya to the point saja, nggak?” ucapku sambil membuka laptop.
“Hm.. aku minta maaf ya, kalau ganggu begini, aku mau bilang kalau aku suka sama elu.”
Aku mendengar helaan nafas darisana, aku kaget sampai menghentikan pekerjaan yang sedang kulakukan. “Sorry, aku tahu ini mendadak banget. Tapi aku cuma mau ngungkapin biar beban perasaan ini terlepas saja….,” ucap Mada.
“Darsa… kamu lagi apa?” terdengar suara dari luar kamar, itu suara Daria memanggil.
“Oh, kayanya kamu lagi ada urusan lain, kalau begitu aku matiin, ya. Makasih sudah mau jawab teleponku, bye Darsa!” Sambungan telepon terputus begitu saja, Mada mematikan itu sebelum aku menjawabnya.
Waktu itu, aku sibuk dalam kurun waktu sebulan karena pekerjaan dan hampir melupakan masalah dengan Mada. Tapi waktu aku coba chat bahkan telepon, tidak ada satu pun yang tersambung, juga terkirim. Mungkin bisa aja aku pulang ke sana, tapi perjalanan buat kembali butuh waktu yang lama. Akhirnya di sinilah aku sekarang, pulang kembali.
Rumah Mada terasa lebih asing dan sepi dari sebelumnya, saat ingin memasuki, ada seseorang menarik tanganku. “Darsa, kamu sudah pulang?” Aku kaget melihat kak Lasa.
“Halo Kak, apa kabar? Mada ada di mana, ya?” Aku melihat wajah kak Lasa yang berubah murung.
“Darsa, kita ngobrol di sana saja, ya,” Kak Lasa menarik pelan tanganku.
Aku menatap kosong hamparan sungai di hadapanku, mataku mulai mengeluarkan bulir air yang tak bisa tertahankan. Kaget saat mendengar kabar bahwa Mada meninggal, karena kecelakaan pesawat yang dialaminya saat perjalanan menyusulku ke kota Makas. Mada berniat untuk mendengarkan penjelasanku mengenai pembicaraan terakhir kami. Aku kesal, marah, semua bercampur menjadi satu, kenapa tidak ada yang mengabari? Kak Lasa menjelaskan bahwa orang tuaku melarang untuk memberitahu karena takut fokusku terpecah menjadi dua.
Tanganku menggenggam erat sebuah kotak berisi seluruh kenangan kami sejak dulu. Pada akhirnya aku hanya menjadi penyesalan terakhirnya. Pada akhirnya, aku hanya bisa menyesali kesempatan yang tidak kuambil, hubungan yang terlalu larut kita jalin, dan keputusan yang terlalu lama aku buat.
Tolong hadirkan dia selalu dalam mimpiku….
***
Aku kebingungan melihatnya yang sudah dua puluh menit tidak berhenti menangis, “Sudah dong, nangisnya, nggak bakal gue ungkit lagi kok. Mana ada coba pangeran Romeo nangis kayak anak kecil begini,” ucapku sambil senyum kecil, siapa tau si Romeo kw ini bakal berhenti menangis.
“Mada, aku berharap pertemuan seperti ini yang kita lalui waktu itu. Makasih yah, sudah mau hadir di setiap mimpiku.”
Aku tertegun mendengar penuturannya.
–Sampai detik ini kamu masih menjadi alasan kenapa hatiku belum mau menerima siapa pun, hatiku tertawan oleh mu–
Reporter: Mutiara Rachmina Indriani
Ilustrator: Mutia Ainil Qalbi
Editor: Fatin Humairo’
Tambahkan Komentar