Tinggal di Asrama vs Kos: Mana yang Cocok Buat Kamu?

Menjadi mahasiswa adalah awal dari babak baru kehidupan—terasa berat di awal, penuh tantangan, pilihan, dan penyesuaian. Segalanya terasa lebih mandiri di kampus: mulai dari memilih teman pergaulan yang sesuai, mengatur waktu, mengelola keuangan dengan baik, hingga memilih tempat tinggal selama menjalani kehidupan kampus. Untungnya, sebagian besar universitas menyediakan fasilitas asrama yang dapat menjadi opsi tempat tinggal bagi mahasiswa baru. Mahasiswa baru IPB University pun dapat memilih untuk tinggal di asrama sebagai langkah awal dalam menjalani rutinitas barunya di kampus. Walaupun begitu, mereka juga diberi kebebasan untuk tidak tinggal di asrama dan mencari kos sendiri.

Tentunya, hal ini bisa menjadi pilihan yang cukup membingungkan bagi sebagian mahasiswa. Karena itu, tim Korpus IPB telah mewawancarai beberapa mahasiswa IPB University Angkatan 61 mengenai beberapa fakta kehidupan di asrama dan kos.

Alasan Memilih Asrama atau Kos

Fotografer: Luthfiani Yuslihayanti

Ada banyak alasan yang mahasiswa miliki saat mereka memutuskan untuk memilih asrama sebagai tempat tinggal. Agni merasa kalau asrama memiliki lokasi yang cukup dekat dengan gedung CCR tempatnya belajar, sehingga lebih praktis dan tepat waktu. Selain itu, harga asrama juga lebih terjangkau jika dibandingkan kos. Sementara itu, alasan Aisyah tinggal di asrama adalah untuk memenuhi syarat administratif mahasiswa KIP-K. “Aku sebenarnya nggak mau asrama, tapi karena aku KIP, jadi terpaksa masuk asrama,” ungkapnya.

Shafina sendiri lebih memilih ngekos karena ia bisa memiliki ruang pribadi, sehingga lebih leluasa dalam menjalankan aktivitas pribadinya. “Aku memilih kos agar punya personal space, gak ada jam malam, lebih bebas, bisa masak, dan nggak ada tugas-tugas yang terkait dengan kegiatan asrama,” jelasnya. Sedangkan Elly memilih tinggal di kos karena hobinya melakukan eksperimen pada masakan yang ia buat, sementara hal tersebut tidak dapat dilakukan di asrama. “Asrama kan ada ketentuan nggak boleh bawa barang elektronik berlebih.” 

Lingkungan Sosial: Siapa Tetangga Kita?

Tentunya lingkungan kos dan asrama memiliki keadaan sosial yang berbeda. Di asrama sendiri, Aisyah dapat bertemu bersama anak-anak KIP-K yang juga diwajibkan untuk tinggal di asrama dan anak-anak non KIP-K yang mendaftar asrama. Agni menambahkan kalau ia dapat menjumpai mahasiswa PPKU lainnya dari berbagai daerah, serta ibu-ibu pengurus asrama.

Sementara suasana di kos terasa lebih beragam. Shafina dan Elly sama-sama mengakui kalau mereka dapat menemui orang-orang dari berbagai profesi, mulai dari mahasiswa seangkatan, kakak tingkat, bahkan orang yang sudah bekerja. Shafina menambahkan kalau pengurus kos miliknya ikut tinggal bersama di kos yang ia huni.

Kapan Mulai Mengurus Tempat Tinggal?

Agni menjelaskan pengurusan administrasi asrama dilakukan setelah penerimaan dan pendaftaran mahasiswa baru. Jadwal kepindahannya pun telah ditentukan oleh pihak asrama. Aisyah menambahkan bahwa ia mulai pindah ke asrama di akhir bulan Juli, berdekatan dengan mulainya rentetan kegiatan kampus.

Hal yang serupa juga terjadi pada anak kos, Shafina dan Elly juga mengakui kalau mereka mulai pindah dan masuk kos di akhir Juli. Yang menjadi perbedaan adalah, mereka harus mencari kos sendiri, sehingga perlu waktu ekstra untuk mengurusnya. Shafina mulai mencari kos di awal Juli, sementara Elly lebih awal memulainya, yaitu satu bulan setelah pengumuman Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP).

Apa Culture Shock yang Dirasakan?

Tentunya ada berbagai hal yang membuat mahasiswa baru perlu membiasakan diri. Agni sendiri mengakui kalau ia merasakan culture shock dengan kebiasaan teman asramanya yang sangat beragam, mulai dari suka bergadang sampai pagi atau bangun di awal subuh. “Awalnya kaget tapi lama-lama terbiasa dan toleransi sama kebiasaan-kebiasaan yang berbeda.” jelasnya. Sementara Aisyah sendiri berpikir kalau asrama yang akan ditinggali akan memiliki suasana seperti pondok. Namun, setelah tinggal di asrama, Aisyah merasakan hal yang berbeda. “Ternyata enggak, ternyata asrama itu ya kayak kita tuh cuma tinggal, ya tinggalnya namanya di asrama. Cuma kan nggak seketat di pondok,” pungkasnya.

Shafina dan Elly sendiri mengalami culture shock yang cukup berbeda dengan Agni dan Aisyah. Shafina mengaku kalau kehidupannya di kos menuntut ia untuk menjadi lebih mandiri. Jarak kos yang jauh dari kampus juga menuntutnya untuk memikirkan transportasi yang ia gunakan. Selain itu, Shafina merasa dituntut untuk mencari teman selama tinggal di kos, “Sulit survive di kos kalo nggak ada teman,” keluhnya. Ia juga mengungkapkan kalau ada sebagian dari penghuninya yang suka curi-curi makanan atau barang. Elly juga mengakui kalau ia harus menjadi pribadi yang lebih mandiri dalam menyiapkan kebutuhan sehari-hari. “Apa-apa harus sendiri gitu kan, nggak kayak di rumah. Kayak makan udah langsung disiapin, cuci baju kadang dicuciin, setrika apalagi,” jelasnya.

Kenyamanan dan Tantangan: Asrama vs Kos

Fotografer: Luthfiani Yuslihayanti

Bagi mahasiswa rantau, memilih antara tinggal di asrama atau kos bukan sekadar soal tempat tidur. Pilihan ini membentuk ritme harian, interaksi sosial, hingga cara mengatur hidup mandiri. Agni, penghuni asrama, menyukai suasana ramai dan kemudahan fasilitas. “Teman banyak, jadi gampang buat ngobrol atau belajar bareng. Fasilitas juga udah disiapin,” katanya. Namun, ia mengakui kurangnya privasi jadi tantangan. “Kalau lagi rame, susah fokus belajar.” Aisyah menambahkan, “Asrama itu murah dan temannya juga banyak, tapi nggak bisa masak dan peraturannya ketat. Aku pribadi kurang cocok dengan aturan yang terlalu banyak.” Aisyah sendiri merasa lebih toleran dengan peraturan kos yang ia ketahui. “Kalau kos kan mungkin peraturannya jam malam, nggak boleh bawa tamu lawan jenis yang nginep lama. Kan cuma itu doang. Ya udah, itu mah aku kalau peraturannya gitu doang itu udah biasa,” tambah Aisyah.

Di sisi lain, Shafina yang memilih kos, merasa lebih bebas. “Bisa masak, ada personal space, ada privasi untuk diri sendiri dan mandinya juga bisa sendiri-sendiri nggak perlu tunggu gantian sama orang lain.” Tapi ia juga mengeluhkan biaya yang lebih mahal dan suasana yang cenderung sepi. “Susah cari teman dan harus mikir beli listrik.” Elly sepakat, tinggal di kos itu bebas, tapi kadang terasa sendiri. “Kalau ada tugas, ya harus usaha sendiri. Beda sama asrama yang lingkungannya lebih suportif.”

Dari cerita-cerita mereka, jelas bahwa baik asrama maupun kos menawarkan pengalaman yang berbeda. Asrama cocok bagi mereka yang mencari komunitas dan kedekatan dengan kampus. Sementara kos lebih cocok untuk yang ingin kebebasan dan privasi. Apapun pilihannya, yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa bisa tumbuh dan menyesuaikan diri di dunia baru ini.

***

Reporter: Nailah Afqaniah, Rossita Nurmala Dewi, Fauzan Affan Zakiyya

Editor: Nabila Farasayu Pamuji

Fotografer: Luthfiani Yuslihayanti

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.