Pada hari Selasa, 20 Mei 2025, telah diadakan audiensi khusus untuk membahas problematika keputusan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang secara resmi mengalihfungsikan Bogor Creative Center (BCC) menjadi Kantor Layanan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat). Audiensi ini dihadiri oleh Komunitas Kreatif Kota Bogor dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kota Bogor. Keputusan tersebut dinilai mendadak dan mengecewakan berbagai komunitas seni, budaya, dan literasi yang selama ini menjadikan BCC sebagai rumah ekspresi.
Iceu, selaku Ketua Dinas Pariwisata dan Budaya kota Bogor, menyampaikan bahwa alih fungsi ini merupakan kebijakan langsung dari Gubernur Jawa Barat. “Kami sudah menyampaikan aspirasi ke provinsi, namun keputusan ini final. BCC kini menjadi aset pelayanan, bukan lagi ruang kreatif,” ujarnya. “Tujuan dari pengalihfungsian BCC menjadi Kantor Samsat juga untuk meningkatkan kualitas layanan Samsat untuk warga Bogor juga,” tambah Iceu.
Meski demikian, Pemkot Bogor berkomitmen menawarkan alternatif ruang kreasi lain, seperti Taman Ekspresi, Alun-Alun Kota Bogor, Auditorium Perpustakaan Bogor, dan Museum Pajajaran. Pemerintah pun merencanakan revitalisasi Gedung Kemuning Gading pada tahun 2026. Dengan anggaran yang mencapai Rp10 miliar, hal tersebut menjadikan Gedung Kemuning Gading sebagai pusat seni budaya baru dengan fasilitas panggung, akustik modern, dan ruang subsektor ekonomi kreatif.

Namun, beberapa pihak menanggapi langkah ini dengan skeptis. Salah satunya adalah Bella, Koordinator Komunitas Film Bogor. Bella menyayangkan matinya BCC yang dinilai aktif dan strategis. “Festival Film Bogor yang seharusnya diadakan tahun ini pun kini terancam tanpa tempat. Festival Film Bogor sendiri belum mendapatkan dana, jadi sangat disayangkan sekali kita kehilangan fasilitas seperti BCC yang notabennya gratis,” keluhnya.
Sementara itu, Fatima, dari Bogor Book Party mengungkapkan bahwa meski komunitasnya fleksibel, kehilangan BCC sangat berdampak. “Tempatnya strategis, fasilitas lengkap, dan yang terpenting gratis. Tidak ada ruang publik lain di Bogor yang bisa menggantikan itu,” tegasnya.

Kritik tajam juga datang dari aktivis budaya dan warga. Walikonten, seorang konten kreator satire, menyoroti buruknya sistem birokrasi dan minimnya pengelolaan ruang seni. “Dari dulu sampai sekarang masalah berseni itu benar-benar buruk. Kalau kita bicara soal Kemuning Gading, gedungnya itu rusak karena tidak adanya maintenance. Kalaupun ada, ntah itu benar dilakukan atau hanya laporan fiktif belaka,” imbuh Walikonten. Ia menambahkan, “Ekosistem seni Bogor selalu terganggu karena tidak adanya monitoring dan regulasi yang jelas. Pemerintah terlalu reaktif, bergerak hanya jika viral.”
Meski BCC telah kehilangan fungsinya sebagai pusat kreativitas, semangat komunitas Bogor untuk terus berkarya tidak padam. Mereka menuntut keterlibatan lebih dalam pengelolaan aset budaya dan berharap pemerintah tidak hanya membangun fisik, tetapi juga ekosistem yang mendukung tumbuhnya kreativitas di Kota Bogor.
***
Reporter: Asni Kayla, Fairuz Zain, Muhammad Diki, Naura Ainnur
Editor: Diana Rahmawati
Fotografer: Fadiyah Febri
Tambahkan Komentar