Based on IPB horror story.
Disclaimer: kesamaan nama hanya sebuah kebetulan.
Ina meregangkan punggungnya yang terasa kaku akibat terlalu lama berada di posisi sama. Akhirnya laporan sialan ini selesai juga, batin gadis itu kesal. Ia melirik ke arah jam digital hitam yang berdiri manis di atas meja belajarnya. Pukul 12 lewat 16 menit.
“Ya, temenin ke kamar mandi, mau gak?” Ina bertanya kepada salah satu teman kamarnya yang belum tertidur.
Kenaya melirik Ina dengan ekor matanya, sedangkan ponsel di tangan. “Gak berani sendiri?” tanyanya dengan nada malas.
Ina menggeleng dan berusaha memberikan ekspresi paling menyedihkan ke arah Kenaya. “Udah jam segini, Ya. Sepi banget di luar. Tahu sendiri kalau aku orangnya penakut.”
Dengan embusan napas pasrah, Kenaya bangkit dari kasurnya yang nyaman. Ia tahu kalau tidak ada gunanya menghabiskan energinya yang tinggal sedikit dengan hal-hal yang tidak perlu. Apa lagi berdebat dengan Ina yang ketakutan adalah sebuah definisi dari menghabiskan waktu dan tenaga secara sia-sia. “Ya udah ditemenin. Jangan lama-lama, gue ngantuk.”
Senyum cerah merekah dari bibir Ina. “Baginda Ratu Maharani Kenaya memang yang terbaik!”
Kenaya memberikan tatapan jangan-bicara-omong-kosong-itu-menggelikan terbaiknya dan memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Dengan malas dan setengah menyesal, ia berjalan ke arah pintu.
Ina hanya menghabiskan waktu kurang lebih 5 menit untuk menyikat gigi dan mencuci mukanya.
“Ya, balik yuk?” ajak Ina kepada Kenaya yang menunggunya di depan pintu kamar mandi.
“Udah selesai? Cepet banget, Na. Takut, ya?”
“Hehe.”
Kenaya tersenyum kecil sembari mengangkat bahu, “Padahal masih rame, kenapa kamu takut? Tapi, tumben sih, jam segini masih pada berisik.” Ini kan sudah lewat tengah malam. Selain masa-masa UTS dan UAS, Kenaya hampir yakin tidak ada yang berteriak sahut-sahutan di atas pukul 12 malam.
Ina menatap Kenaya dengan tatapan aneh. Kenaya sedikit mengernyitkan dahi. “Kenapa?” tanyanya.
“Tapi, dari tadi hening, Ya. Gak ada suara orang lain,” ujar Ina dengan suara lirih.
Kini giliran Kenaya yang menatap Ina dengan tatapan aneh. “Hah, masa’? Dari pas keluar kamar tuh gue denger masih pada rame kok, tapi kayaknya di lorong yang agak belakang sana. Suaranya ga terlalu jelas, tapi kedengeran kok, kayak lagi pada teriak-teriak gitu.”
Ina menggeleng, “Beneran, Ya. Aku ga denger apa-apa dari–”
Suara kain yang bergesekan menghentikan perkataan Ina di tengah-tengah. Kali ini bukan hanya Kenaya yang mendengarnya karena wajah Ina terlihat sangat pucat. Embusan angin dingin tiba-tiba membuat rambut-rambut halus di tengkuknya berdiri tidak keruan. Suaranya terdengar seperti suara kain yang diseret-seret sepanjang lorong. Tidak tajam, tetapi terdengar jelas.
Suara itu terdengar seperti berasal dari ujung lorong. Namun, ketika Kenaya memberanikan diri untuk melirik ke arah suara tersebut, yang didapatinya hanyalah dinding lorong yang dingin. Kenaya tidak mau memikirkan siapa atau apa yang dapat memproduksi suara seperti itu di tengah-tengah lorong kosong. Suara gesekan kain itu berirama dan sedikit demi sedikit terdengar lebih keras dari sebelumnya. Seolah-olah ada orang tak kasat mata yang berjalan mendekat ke arah mereka berdua.
Holy shi-
“Na, ayo balik ke kamar.” Kenaya berbicara dengan suara rendah dan pelan. Ia tidak berani menaikkan suaranya lebih dari yang dibutuhkan. Ia mati-matian menjaga suaranya agak tetap stabil dan tidak bergetar. Telapak tangan Kenaya berkeringat dan jari-jarinya terasa membeku. Jantungnya berdegup terlalu keras dan membuatnya setengah tuli. Namun, suara kain yang bergesekan itu tetap dapat didengarnya dengan jelas.
Ina mengangguk cepat, walau sudah terlihat hampir menangis.
Dengan gerakan yang kaku dan dipaksakan, Ina dan Kenaya berjalan cepat ke kamar mereka dengan suara sesedikit mungkin. Padahal, jarak antara kamar mandi dan kamar keduanya tidak seberapa jauh. Namun, perjalanan mereka terasa sangat panjang dan lama.
Ina memutar kenop pintu kamar dengan terburu-buru dan membukanya dengan tenaga yang berlebihan, membuat pintu tersebut hampir membentur dinding. Mereka berdua bergegas masuk dan mengunci pintu kamar.
Embusan napas lega lolos dari keduanya. Kenaya menggigit bibir bawah dan melirik ke arah tangannya yang masih menggenggam erat kenop pintu, baru menyadari bahwa sedari tadi tangannya gemetar.
Keduanya lalu beringsut ke tengah kamar sembari mencoba menenangkan diri dalam diam. Tidak ada yang berani untuk beranjak ke kasur masing-masing.
“Ya, aku gak berani tidur.” Suara lirih Ina membuat Kenaya mendongak.
“Kamu ada murotal, kan? Coba pasang aja sampai pagi,” jawab Kenaya sekenanya. Degup jantungnya masih belum kembali normal dan tangannya masih sedikit gemetar. Kenaya merasa jika ia juga tidak akan bisa tidur malam ini.
Ina terlihat khawatir dan ragu. Namun, akhirnya hanya menganggukkan kepala, tidak dapat memberikan solusi yang lebih baik. Walau telah memberikan persetujuan, Ina tidak beranjak dari tempatnya duduk dan Kenaya tidak menyuarakan apa-apa.
Kenaya tidak yakin berapa menit mereka duduk terdiam di tengah-tengah kamar seperti itu. Sampai akhirnya, mereka berdua naik ke kasur masing-masing. Terjaga hingga pagi.
Sumber gambar: Dokumentasi editor
Editor: Ikfanny Alfi Muhibbah Shalihah
Tambahkan Komentar