Matahari mulai meninggi memperlihatkan dirinya yang gagah di atas teluk Jakarta yang terbentang. Gradasi warna di bawah sana mulai terlihat. Coklat menuju abu-abu, kemudaian biru tua disambut segarnya warna hijau toska di tengah perjalanan itu.
Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (FEMA IPB) melaksanakan perjalanan riset dan real action dalam rangkaian kegiatan acara Indonesia Ecology Expo (INDEX) 2015 yang bertajuk “Kemah Riset (KERIS): Suistainable Human Ecology in Coastal Area” di Kepulauan Seribu pada Sabtu (13/09).
Di hari yang sama, Peserta Kemah Riset 2015 langsung beranjak ke Pulau Panggang untuk melakukan riset. “Terdapat beberapa topik riset untuk KERIS tahun ini, ada lingkungan, pendidikan, sosial ekonomi, pangan dan gizi, serta isu ekologi.” Terang Adief, salah satu panitia KERIS 2015.
Kesediaan air bersih merupakan masalah umum yang menjadi buah bibir disana. Meski Kelurahan Pulau Panggang memiliki 3 tempat penyulingan, namun hal itu masih belum mencukupi kebutuhan air bersih untuk masyarakat disana. “mesin penyulingan disini rusak, sudah dibetulkan tapi masih belum bisa berfungsi.” Ujar Soraya, saat diwawancarai tim riset dari KERIS.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, masyarakat di Pulau Panggang harus membeli air bersih di Pulau Pramuka. Mereka harus merogoh kantong cukup dalam untuk membeli segalon air bersih. Kisaran harga air bersih disana Rp8.000,00 hingga Rp22.000,00 per galonnya.
Mahalnya harga tukar air tidak seimbang dengan pemasukan yang didapat dari pekerjaan masyarakat disana. Mayoritas masyarakat Kelurahan Pulau Panggang bekerja sebagai nelayan.
“Sekarang kami berlayar sendiri-sendiri, soalnya kongsi (re: kelompok nelayan) sudah tidak diperbolehkan pemerintah Dek. Kalau ketahuan bisa disita kapalnya dan kami harus menebusnya sampai 17 juta.” Ujar salah satu istri nelayan disana.
Kongsi merupakan sekelompok nelayan (hingga 18 orang) yang terdiri dari bos dan anak buah. Adanya larangan melaut di zona-zona tertentu dan PERMEN No.8/2012 membuat nelayan disana tidak dapat mencari nafkah dengan maksimal. Mereka hanya dapat mengandalkan pendapatan dari hasil tangkapan individu serta berdagang makanan di sekitar rumah.
Di sisi lain, sulitnya transportasi juga menjadi kendala utama masyarakat Pulau Panggang untuk berkembang. Pasalnya tidak setiap saat perahu dapat berlalu-lalang disana.
“Perahu tidak seperti ojek, sekali panggi langsung datang. Jadi disini sulit.” Ujar Kasim, salah satu tokoh masyarakat disana.
Hal itu pula yang menjadi sumber masalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat disana. Untuk bersekolah hingga jenjang sekolah menengah pertama maupun menengah atas mereka harus menyebrang ke pulau tetangga.
“Saya dan adik saya sudah tidak sekolah kak, tamat SMP saja. Soalnya sekolahnya jauh.” Ujar Ipah, salah satu remaja 17 tahun yang kami temui di Pulau Panggang.
Masih terdapat masyarakat setempat yang kurang gizi. pendidikan yang rendah dan ekonomi keluarga yang tidak mendukung menjadi salah satu penyebab kurangnya asupan gizi yang cukup. Selain itu masyarakat disana tidak menyukai tahu tempe seperti layaknya makanan sehari-hari orang Indonesia. Karena terbiasa makan makanan laut, lidah orang pesisir sulit menerima makanan selain seafood. Bahkan untuk mendapatkan sayur-sayuran pun mereka harus merogoh kocek agak dalam karena sayur sulit didapatkan disana.
Sinergi Ekologi Manusia
Peserta Kemah Riset 2015 melakukan kegiatan diskusi serta memberikan beberapa ide yang nantinya akan dituangkan dalam Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang merupakan timbal balik untuk masyarakat disana.
“Ini pertama kalinya, mahasiswa-mahasiswa dari universitas mengajak kami duduk dalam satu ruangan untuk berdiskusi membicarakan keadaan masyarakat disini. Pertama kalinya.” Tukas Kasim saat diskusi di balai pertemuan Pulau Pramuka. Menurutnya, kebanyakan mahasiswa yang datang disana hanya untuk kepentingan penelitian dan pengambilan data semata tanpa adanya timbal balik ke masyarakat.
Perahu Pintar, salah satu sodoran ide segar untuk mengatasi sulitnya akses menuju sekolah. Perahu ini dikhususkan untuk siswa-siswi yang idenya diadopsi dari bus sekolah di Jakarta. Selain itu, di dalam perahu tersebut nantinya akan disediakan perpustakaan mini untuk merangsang minat baca anak-anak disana.
Selain itu, muncul gagasan dari salah satu peserta KERIS 2015 yang berasal dari jurusan Ilmu Teknologi dan Kelautan. Sebuah teknologi alat tangkap ramah lingkungan yang mampu menjaga ekosistem karang. Sensor, suatu sistem yang akan diapakai nantinya, mampu memanggil ikan-ikan dengan sendirinya tanpa harus mengunakan alat tangkap yang merusak ekosistem laut.
Untuk mendukung keberlanjutan ekosistem pesisir, peserta Kemah Riset juga melakukan real action berupa penanaman mangrove dan transplantasi karang. Hal ini adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan manusia untuk menjaga kelestarian ekosistem.
R. Irinne Devita A
Editor : Shalsa Nurhasanah
Tambahkan Komentar