Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) akan melakukan Studi Konservasi Lingkungan (Surili) pada 27 Juni hingga 15 Juli di Taman Nasional Gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat. Ekspedisi ini mengangkat tema “Kajian Potensi Keanekaragaman Hayati dan Analisis Sosial Budaya Masyarakat Adat di Taman Nasional Gunung Tambora, Provinsi Nusa Tenggara Barat”. Tim Ekspedisi Surili yang akan berangkat yaitu 80 mahasiswa Himakova dan satu orang dosen Pembina
Surili merupakan salah satu program besar yang dilakukan Himakova yang telah dilaksanakan sejak tahun 2004. kegiatan ini fokus pada penghimpunan data (inventarisasi) keanekaragaman hayati atau biodiversitas serta sosial budaya masyarakat tradisional yang ada di kawasan konservasi, khususnya Taman Nasional.
Pada bulan April yang lalu, pemerintah Kabupaten Dompu dan Bima NTB telah melaksanakan peringatan 200 tahun meletusnya Gunung Tambora dengan ikon “Tambora Menyapa Dunia”. Pada puncak kegiatan tersebut, Presiden Joko Widodo menetapkan kawasan konservasi Gunung Tambora menjadi Taman Nasional Gunung Tambora (TNGT). Kawasan TNGT memiliki luas sekitar 71.645,74 ha yang terletak di dua Kabupaten yakni Dompu dan Bima, Provinsi Sumbawa, NTB.
Gunung tambora sendiri merupakan salah satu gunung dengan sejarah yang panjang dan melegenda. Pada awalnya, Gunung Tambora memiliki ketinggian 4300 mdpl namun ketika meletus tahun 1815 puncak gunung ini meluruh dan membentuk kaldera sehingga ketinggiannya saat ini sekitar 2700 mdpl. Akibat letusan tersebut bukan hanya wilayah Indonesia yang terkena dampak bahkan kabarnya iklim di Eropa sempat terganggu akibat letusan ini. Di cerita masyarakat lokal juga terungkap bahwa letusan tambora telah menimbun 2 kerajaan dari 3 kerajaan yang terletak di sekitar Gunung Tambora yakni Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pukat, hanya menyisakan Kerajaan Sanggar. Letusan maha dahsyat itu tidak hanya meninggalkan cerita sejarah, namun juga menyimpan keunikan dan kekhasan sumberdaya alamnya.
Sebagai kawasan taman nasional yang baru saja terbentuk, TNGT belum memiliki data yang cukup tentang potensi keanekaragaman hayati dan sumberdaya alamnya. Sedangkan untuk melakukan pengelolaan yang baik, pihak pengelola harus mengetahui apa yang mereka miliki. Tercantum di Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa inventarisasi hutan merupakan kegiatan yang paling utama dalam perencanaan kehutanan. Sehingga hal ini mampu memberikan pedoman dan arahan dalam pengelolaan taman nasional yang baru saja ditetapkan ini.
Lepi Asmala Dewi
Editor : Shalsa Nurhasanah
Tambahkan Komentar