Oleh : Farah Dina A
Sudah merupakan makanan sehari-hari bagi seorang ‘Kakak’ di dalam keluarga diberi nasihat untuk selalu mengalah pada adiknya. Atau, yang tua mengalah pada yang muda, begitulah paradigma yang terpatri dalam masyarakat sejak kapan pastinya tidak ada yang tahu. Orang yang kurang berkepentingan (bukan, bukan dilarang masuk) juga selalu dikaitkan dengan pihak yang harus selalu mengalah (bukan, bukan lagunya Seventeen). Tapi pada praktiknya, mau yang tua, yang kurang berkepentingan, bukan berarti benar mereka yang pada kenyataannya mengalah.
Realnya, bisa diambil dari contoh kasus yang berlatar waktu UTS berikut ini, ketika pengawas mengumumkan bahwa ruangan ujian belum siap dan meminta seluruh mahasiswa yang sudah rapi duduk di bangku masing-masing untuk keluar dari kelas, seluruh mahasiswa pun berbondong-bondong menuju pintu sampai berdesak-desakan segala. What’s the point, anyway? Kalau ada beberapa saja yang mau mengalah, pasti gak ada yang namanya desak-desakan cuma buat keluar kelas. Belum selesai sampai di situ, mahasiswa yang sudah keluar dari kelas malah memadati pintu dari arah luar, aksi ini dapat disimpulkan sebagai aksi mencuri start untuk masuk kembali ke kelas. Sudah begitu, bagaimana bisa yang masih di dalam untuk keluar kalau pintunya saja terhalang?
Mengalah sepertinya memang satu-satunya kunci pemecahan masalah di atas. Akan tetapi justru mengalah-lah yang dipermasalahkan. Tidak semua orang mau atau bahkan bisa mengalah.
Ada sih, contoh penerapan mengalah di sikon yang sama seperti yang sudah dibahas tadi, apalagi kalau bukan mengalah untuk duduk di belakang di saat ujian? tidak setiap saat kan yang datang telat malah kebagian duduk di depan
Tambahkan Komentar