Ide penulisan opini ini muncul dari perkuliahan Sosiologi Umum dengan Koordinator Mata Kuliah Sosiologi Umum Ir. Fredian Tonny Nasdian di kelas TPB saya. Saat itu beliau bertanya kepada para mahasiswa, “Kalau sistem pengendalian organisasi asrama TPB gimana?” lalu sebagian besar mahasiswa di kelas menjawab serentak, “Koersif!!!”
Dalam tinjauan mata kuliah Sosiologi Umum bab “Organisasi dan Birokrasi” ada tiga macam sistem pengendalian organisasi. Salah satunya adalah pengendalian yang bersifat koersif, yaitu pengendalian orang-orang di dalam organisasi tersebut yang dilakukan secara paksa. Pengendalian bersifat koersif akan menimbulkan kepatuhan yang bersifat alienatif, yaitu kepatuhan yang hanya berdasarkan ketakutan akan hukuman dan cenderung menekan inisiatif per individunya.
Biasanya, pengendalian bersifat koersif terdapat pada camp konsentrasi, lembaga rehabilitasi, dan penjara. Sebagian besar kita bila mendengar nama-nama tempat tadi, pasti terpasang mindset bahwa tempat-tempat tersebut sangat mengatur orang-orang di dalamnya dan menimbulkan perasaan ingin segera keluar dari tempat itu.
Lalu, mengapa asrama TPB IPB ‘disejajarkan’ dengan tempat-tempat tadi? Sebegitu memaksakah peraturan-peraturan yang berlaku di asrama TPB IPB? Mungkin saya pribadi akan menjawab iya.
Contoh kecil saja: jam malam asrama yang ditetapkan pukul 21.00. Setiap keterlambatan diberlakukan hukuman yang semakin berat per lima belas menit. Saya pribadi merasa tidak terbiasa untuk harus tiba di asrama seawal itu, karena saat saya duduk di kelas XII SMA saya baru selesai mengikuti bimbingan belajar pukul 20.30 dan itu belum termasuk menunggu dijemput dan mencatat hal-hal yang belum sempat dicatat, juga perjalanan saya dari tempat bimbingan belajar ke rumah memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit.
Saya kurang setuju dengan adanya pelarangan membawa alat-alat rumah tangga pribadi, contohnya setrika. Bayangkan, hanya disediakan dua unit setrika untuk satu lorong. Jadi, kalau mau mencari setrika, harus jalan-jalan menelusuri lorong sambil berteriak-teriak atau mendatangi kamar satu per satu. Bagi saya itu sangat tidak efektif. Bayangkan bila saat kita berteriak-teriak itu ada teman kita yang di dalam kamar sedang belajar atau tidur.
Saya juga kurang setuju dengan adanya pelarangan berjualan di asrama, yang dikhawatirkan terjadinya persaingan dagang. Menurut saya persaingan dagang tidak akan terjadi, karena ternyata sebagian besar teman lorong saya yang berjualan tujuannya adalah danus untuk OMDA mereka atau tugas dari UKM Century, bukannya kepentingan pribadi, meskipun memang ada yang berjualan karena kepentingan pribadi. Lagipula bagi saya insan asrama sudah mengerti toleransi, maka bermusuhan karena persaingan dagang tidak akan mungkin terjadi.
Fara Ruby – Kru Magang Korpus
tulisan ngak mutu kok dimuat….kalau ada masalah seharusnya di carikan solusi…komentar masalah tanpa adanya usulan solusi itu sama aja lempar batu sembunyi tangan….setelah itu metode pengambilan kesimpulannya jauh dari kaidah ilmiah…..katanya mahasiswa, mengambil kesimpulan dengan begitu enaknya tanpa memperhatikan kaidah ilmiah…..
Dek, belajar sosumnya lebih giat lagi ya. Namanya juga sistem pengendalian sosial, pastilah koersif di manapun di dunia ini. Kalau isi beritanya “sistem pembinaan di asrama yang koersif”, maka sudah pasti salah.
Lagipula judulnya pun sudah salah, salah banget. Pengendalian organisasi itu tidak sama dengan pengendalian mahasiswa TPB. Organisasi asrama tidak melulu berisi mahasiswa TPB. SR pun dikendalikan, dan caranya jauh lebih koersif dari mahasiswa TPB. Dana pembinaan asrama pun perlu dikendalikan, namun tidak dengan cara koersif.
Saya harap koran kampus asrama bisa merekrut tim yang lebih bermutu lagi.
Kayaknnya adek berasal Dari latar belakang keluarga yang terlalu cukup berada Adek perlu rajin-rajin ikut organisasi Dan bersosialisasi dengan berbagai ripe strata social… Sehingga pandangan ya lebih luas…banyak belajar ya dek….masih banyak waktu untuk mengambil hikmah Dari suatu peristiwa dalam 3 tahun mandating.. Dan untuk kru korpus Ada baiknya menampilkan tulisan yang beri bang tidak hanya Dari satu opini. Tulisan kurang me ust second or third opinion….
segala peraturan dibuat untuk keselamatan kita juga.. yang membuat peraturan juga lebih berpengalaman daripada kita, tentu ada history yang melatarbelakangi terciptanya peraturan itu..
kalau ingin tau, cerita sama orang yang sudah lama di asrama kenapa harus ada jam malam.. kalau ada yang hilang dan gak balik-balik ke asrama, siapa yang bakal tanggung jawab? orangtua pasti nyalahin asrama bukan anaknya yang gak tau kegiatannya apa saja di kampus..
so, open mind open heart, harus bisa membaca lingkungan dan jangan berpikir yang negatif saja, positifnya jangan ketinggalan ya dek.. 🙂
ayo tetep semangat ya bikin beritanya, kupas lebih dalam lagi, pandangannya juga jangan subyektif 🙂
Melihat suatu aturan jgn cuma dari satu sisi. Lihatlah sisi positifnya dari aturan jam malam. Itu sebenernya unt menjaga kita,mahasiswa TPB. Klo ada kejadian yg tidak diinginkan pada malam hari, mis pelecehan seks, siapa yg mau tanggung jawab? Asrama jg tmpt kita mengenal teman2 dari sabang sampai merauke dg berbagai macam suku bangsa dan budaya. Kita jg bisa berbagi kesulitan mata kuliah dengan teman lorong, misalnya.Saya sangat tidak setuju jika dikatakan aturan asrama sangat koersif. Lihatlah semua sisi positif dengan adanya asrama.Jangan hanya memandang sebelah mata. Dan jangan egois bahwa kehidupan di asrama harus sama dengan kehidupan kamu waktu SMA.
Sebuah Kajian baru mengenai asrama. Sebuah sistem koersif. Harusnya hal ini bisa menjadi masukan untuk asrama. Apakah asrama memang bersisitem koersif? Perlu ditinjau apakah sistem koersif yang diberlakukan di asrama baik adanya? Sebagai mahasiswa yg logis dan mau berbenah, hal ini bisa dikaji.
*mohon bertanggung jawab dong yang bernama anonim
Farochi/Tin