[Opini] Tolak Green Campus IPB

Bogor, 5 September 2015

Tolak Green Campus IPB

  1. Sesat Pikir “Green”

Green transportation yang saat ini dicanangkan oleh IPB sebagai bagian program implementasi konsep kampus “hijau” harusnya perlu memiliki dasar-dasar dan landasan-landasan yang kokoh dalam kampanye ekologis baik dari sisi estetik, etik, dan tentunya komprehensif. Apalagi, nilai estetik ekologis yang dikemas dalam konsep abstrak, yakni “sustainability”, perlu dipahami dengan baik bagi semua civitas IPB bahwa kaedah-kaedah “green concept dalam ranah kritis bukanlah mengedepankan pelestarian dan pencegahan serta keberlanjutan ekologis. Tapi justru green concept ini merupakan manifestasi pemanfaatan nilai ekonomis dari alam secara efektif, efisien, rancangan miniatur sistem alam(versi manusia), dan tentunya menganut paham konservatif yang absurd (Kill, 2014). Mengapa?

Karena jika ditilik lebih dalam, nilai ekologis yang dikedepankan oleh green concept adalah alam dan sistemnya versi rancangan manusia, bukan pelestarian alam yang sudah ada. Atau dalam arti lebih jelas, manusialah yang menguasai alam, dan kontras. Hal ini bisa terlihat dari pembangunan besar-besaran IPB yang merombak ekologi (menjadi beton) dibarengi dengan program implementasi green campus concept 2020 dalam kemasan green transportation berbayar. Jika dipikir secara logis adalah hal yang berseberangan, dan pastinya menuai kontroversi bagi mereka yang “sadar”. Sehingga bisa dipertanyakan makna “green” itu sendiri sebagai sebuah manifestasi konsep, bahkan bisa menjadi landasan yang menyesatkan. Apalagi oleh institusi perguruan tinggi yang sudah tentu berlabel “green” secara harfiah. Ditambah lagi, perlu dipertanyakan perihal “sustainability” berdasarkan kacamata apa dan bagaimana sistem manajemen lingkungannya.

Sebelumnya telah dikaji dalam diskusi publik dengan data-data yang ada, bahwa “green campus” merupakan stigma global “yang dibentuk” sebagai konsekuensi isu pengrusakan hutan, lahan, tambang, climate changes dan global warming. Hal ini seolah diperlukan sebagai upaya pencegahan dalam bentuk konservasi dan sustainability (ketahanan)-nya yang termaktub dalam protokol Kyoto, ketetapan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), serta konferensi global lainnya berbalut asas kepentingan finansial, yang dikemas dalam konsep green economy. Konsekuensi ini lalu memainkan peran civitas akademisi dan peneliti untuk menyukseskan kampanye ini seperti yang disarankan bersama oleh World Resources Institute (WRI), United Nations Environmental Programme (UNEP-PBB) dan World Bank sejak tahun 1990-an. Luaran dari hasil tersebut membuahkan kebijakan-kebijakan sustainablity, biodiversity, REDD, carbon trading dan lainnya yang menjadikan alam sebagai objek valuasi nilai ekonomis. Contoh-contoh nyata seperti, ekowisata, penghijauan, manajemen sistem pemanfaatan alam, emisi dan ekosistem regional, dan kehidupan kemasyarakatan ke-alam-an seperti yang dilansir Millennium Ecosystem Assessment dan Natural Capital Accounting Projects . Sehingga para peneliti kian disibukkan mencari jalan keluar dengan hasil riset dan data-data yang tidak akurat dan malah bisa jadi absurd . Sedangkan di sisi akademis, para akademisi ter-stigma untuk perlu menjadikan kelembagaan (kampus)-nya menjadi model percontohan “green”. Artinya salah satu promotor “green” yang menyesatkan ini adalah civitas akademisi itu sendiri baik “sadar” maupun “tidak sadar” dengan objek masyarakat luas.

Sehingga jika menilik ranah etis, perlu dipertanyakan perihal siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan ekologis yang membentuk isu-isu climate changes, emisi carbon, dan rusaknya ekosistem. Padahal pengrusakan hutan, pengelolaan tambang, emisi pabrik-pabrik dan lainnya tanpa adanya pengawasan “ekologis” adalah ulah para kapitalis global (pengusaha-pengusaha mendunia). Namun mereka sama sekali tak tersentuh dalam hal pertanggung jawaban atas isu ekologis dan konservatisme, green dan sebagainya bahkan oleh PBB, dan mengindikasikan bahwa masyarakat luaslah yang harus menanggungnya. Sehingga patut dipertanyakan konsep “green” harusnya tanggung jawab siapa? Karena pembentukan konservasi ekologi versi itu butuh biaya, ongkos dan modal yang sangat besar. Lalu, kenapa malah rakyat yang harus membayar ongkos-ongkos konservasi itu?

Landasan-landasan itu akhirnya membuka peluang baru dalam hal finansial ekonomis dengan objek alam-nature seperti yang diungkap dalam protokol Kyoto dan konferensi lainnya dalam bentuk carbon trading, REED, sustainable development dan green economy. Artinya negara-negara yang telah merusak ekologis sejak masa revolusi industri (1800an) lewat beberapa konferensi dan perjanjian se-topik merekomendasi program green economy. Sehingga merasa dipandang perlu untuk melakukan pencegahan-pencegahan yang bersifat ketahanan alam, terutama yang menjadi objek utama adalah negara-negara dunia ketiga. Program-program luaran tersebut perwujudan langkah-langkah tersebut, dan kemudian menjadi stigma riset perguruan tinggi global. Negara-negara maju yang berorientasi industrial kemudian melimpahkan tanggung jawab “ketahanan alam” kepada negara-negara ketiga dalam hal konservasi dan sistem-sistemnya dan diberi value atau reward dalam bentuk finansial. Hal ini secara tidak langsung membuka peluang baru bagi pengusaha-pengusaha dan stakeholders berkapital besar untuk menjadikannya sebagai objek bisnis. Padahal hal ini sudah dirancang dan dianggarkan oleh instruksi global (PBB, Bank Dunia, Negara Maju, dan Negara Dunia Ketiga) bahwa adanya reward finansial bagi lembaga dan stakeholders yang menerapkan konsep “green” sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan climate changes, emisi dan pengrusakan alam. Apa hal ini relevan bagi kita? Apalagi scientist dan akademisi disibukkan dengan hal ini?

  1. Komersialisme “Green Transportation” IPB Berbayar

Menyikapi kontroversi program green campus IPB dalam implementasi green transportation berbayar sejak awal september lalu, diketahui bahwa telah banyak gerakan penolakan. Setelah berdiskusi panjang maka diperlukanlah sebuah dasar bagi civitas akademika IPB untuk kembali meninjau secara kritis benefisitas dan dampak program green sebagai upaya pihak stakeholders (rektorat dan perusahaan dibawahnya, BLST) mendorong manifestasi kebijakan green transportation. Karena kebijakan dipandang berseberangan dan kontras dengan label IPB yang sejatinya sebagai kampus populis (bermasyarakat), hijau, dan enviromentalis, serta dalam ranah praxis, impelementasi pembangunan IPB yang tidak konservatif. Apalagi “konsep green” yang mengglobal dan dianut oleh perguruan tinggi sekelas IPB justru menjadi upaya “komersialisme” program dengan pembebanan moral dan insentif, yakni mahasiswa dan masyarakat sekitar kampus IPB.

Padahal panduan dari UNEP (Divisi PBB dalam hal program lingkungan) sudah sangat jelas, bahwa langkah awal dalam merancang kampus hijau yang sustainable diperlukan komitmen antara stakeholders dan mereka yang dikenai dampak green concept. Hal ini justru diindahkan jika mengacu pada panduan PBB. Malah mengedepankan monopolistik transportasi yang “katanya” bebas emisi (mobil listrik dan mobil gas; padahal gas tetaplah bereimisi karbon) berbayar dengan dalih “green transportation” menuju green campus. Padahal fasilitas-fasilitas itu merupakan akomodasi dan manifestasi dana APBD (Daerah) dan APBN (Negara). Bukti nyata secara tertulis disinyalir dapat dibuktikan kebenarannya namun hanya saja tidak dapat diakses keterbukaannya oleh “stakeholders” . Ditambah lagi fasilitas-fasilitas itu justru membebankan pembiayaan lain bagi civitasnya dengan dalih adanya “subsidi sementara” sehingga terkesan IPB tidak mampu mengakomodir biaya-biaya fasilitas itu, agar adanya bantuan mahasiswa dalam hal pendanaan “green”. Mengapa pemakai (mahasiswa) harus menangung insentif konsekuensi green konsep yang dicanangkan IPB?

Padahal berdasarkan landasan dasar diatas (sub-bab 1) sudah jelas bahwa hal tersebut mengindikasikan unsur bisnis dengan jualan “hijau”. Dan pihak-pihak yang diuntungkan secara finansial hanya segelintir saja, yakni pendana (Bank BNI), BLST dan IPB. Sedangkan dampak langsung yang disamarkan menjadi benefit yakni mahasiswa dan masyarakat dibatasi dalam hal akses mobilitas serta dibebankan biaya akomodasi. Bukankah sudah ada dana global yang memodali (baik via perantara pemerintah pusat dan daerah maupun langsung)?

  1. Landasan Dasar Penolakan Green Campus

Konsekuensi ini tidak logis jika dirunut berdasarkan landasan dasar diperlukannya “green” tadi dan kronologis implementasi di IPB yang penuh kontra-versi. Karena pada kenyataannya beberapa masalah yang ditemukan yakni:

  1. Tidak adanya Master-plan dan Site-plan rancangan resmi yang di-publish IPB sebagai upaya “bersama” menuju kampus hijau.
  2. Rencana implementasi tidak terdaftar dalam Rencana Strategis IPB (Renstra IPB)
  3. Program Green Transportation identik dengan bisnis monopolistik dalam rangka mekanisme pendanaan IPB, sesuai Undang-undang PTN-BH serta dan mengindahkan aspek sosial dan konservasi .
  4. Program Pengenalan Green Campus dibarengi dengan perombakan konservasi (menjadi bangunan), sehingga perlu dipertanyakan secara legal adanya analisis dan dokumen dampak lingkungan (AMDAL-UKL, UPL dan izin-izin lainnya) secara administratif dan pengkajian akademis serta perizinan.
  5. Jika memang benar adanya program green campus, IPB tidak merujuk pada kaedah dan strategi implementasi global yang telah dipandu oleh instruksi global (UNEP).
  6. Tidak adanya nota kesepahaman bersama antara pihak stakeholders dengan pihak yang menjadi objek implementasi green transportation (mahasiswa dan masyarakat sekitar) tentang program ini dan mengenai dampak dan benefit konsep green ini.
  7. Kebijakan green yang diambil ditentukan sepihak tanpa kompromi dan tidak sesuai dengan STATUTA IPB. Padahal secara struktural dan fungsional penentu kebijakan adalah MWA dengan adanya unsur mahasiswa dan unsur “tokoh masyarakat” didalamnya (Statuta IPB, 2013).
  8. Tidak adanya ketranspranan dana. Hal ini bisa dilihat dari Rekening IPB yang disinyalir hanya satu pintu, yakni “Rekening Rektor”  sehingga tidak bisa dilacak mendetail mengenai sumber dan peruntukan dana alokasi.
  9. Objek yang dirugikan secara insentif adalah mahasiswa dan secara implementatif adalah mahasiswa dan masyarakat, dan perlu dipertanyakan kelegalannya.
  10. Green campus harusnya menjadi tanggung jawab institusi terkait permodalan dan konservasi, bukan tanggung jawab “objek implementasi (civities and livelihood)” sesuai amanat global, diluar ranah etis dan estetis.

Berdasarkan 10 item tersebut, kelegalan dan relevansi program dan kebijakan green transportation dan green campus IPB bisa dipertanyakan kelayakannya. Sehingga bisa menjadi runutan unsur-unsur penolakan civitas IPB (terutama mahasiswa). Nilai-nilai konkrit yang menjadi dasar penolakan kebijakan ini bisa menjadi panduan bersama untuk dikaji kembali mengenai kelayakan program green campus di IPB. Dan sebagai mahasiswa, berhak untuk turut serta dalam pengawalan kebijakan yang ideal. Jika ternyata dinafikkan, maka merugilah mereka yang “tidak sadar” akan dampaknya secara generatif.

TOLAK GREEN CAMPUS IPB!!!

Catatan :

  1. Nilai etis pembebasan bukan hanya khusnuzon. Nabi saja walau awalnya mengalah dan pindah ke Madinah, justru harus memerangi kaum Quraisy di Makkah sana walau kalah di perang Uhud. Artinya “pembebasan dari jahiliyah dengan cara perang” sesuai jalan yang lurus itu diperlukan dan utama dalam memperjuangkan nilai-nilai keislaman.
  2. Pendidikan itu bukan hanya melatih kecerdasan fisik dan keahlian, tapi melatih kecerdasan mental. Rugilah bagi mereka yang hanya ikut-ikutan tanpa tahu arah dan posisinya, apalagi mahasiswa, dan kemudian mereka menjadi pemanut dalam kehidupan masa depan. Karena secara historis, mahasiswalah yang merubah nasib bangsa ini, menjadi lebih baik. Merdekalah bagi mereka yang kritis. Hidup Mahasiswa!!!!

Sumber :

  1. Tulisan ini sebagai upaya penyadaran kritis civias dan penolakan langsung terhadap kebijakan green transportation #tolakgreencampus
  2. US Enviromental Protection Agency (EPA) New England Interstate Water Pollution Control Commission and Enviromental Training Center (NEIWPCC/NEIETC) and the Northeast Partnership for Enviromental Technology Education *NEPETE). Greening The Campus : Where Practice and Education Go Hand in Hand A collabortive effort. EPA Region 1 College and University
  3. Kill, Jutta. 2014. Economic Valuaition of Nature : The Price To Pay For Conservation ? Rosa-Luemburg-StifungBrussels Office. No financialization of nature network
  4. Ibid-3
  5. Ibid-3
  6. Allen, Cameron and Clouth Stuart. 2012. A guidebook to the Green Economy-Issue 1: Green Economy, Green Growth, and Low-Carbon Development: history, definitions and guide to recent publications. UN Division for Sustainable Development. UNDESA.
  7. Ibid-3
  8. UNEP (United Nation Enviroment Programme). 2013. Greening Universities Tooklit-Transforming Universities Into Green And Suistainable Campuses : A Tooklit For Implementers. United Nation.
  9. Tertera pada akomodasi mobil listrik “hibah gubernur jawa barat” dan keterangan rektorat saat audinsi
  10. Spanduk di jalan sekitar gor lama
  11. Merujuk panduan UNEP dan observasi
  12. Observasi Renstra IPB 2014-2018
  13. Presiden Republik Indonesia. 2013. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
  14. Ibid-11
  15. Observasi
  16. Ibid-11
  17. Audiensi dengan rektorat dan keterangan piha BLST
  18. Hasil Observasi serta merunut PP No.20 tetang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 58. 2013 dan izin dari Mendiknas serta izin MenRisTek DIKTI

Roto Tuli

(Komunitas Peduli Mahasiswa)

Redaksi Koran Kampus

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.