
Barangkali kita sudah berkawan dengan tikus. Hampir tiap hari kita bertemu dengannya : di jalan, di tempat sampah, di selokan, bahkan di etalase warteg.
Tikus seperti bagian dalam keseharian kita, mahasiswa IPB. Mulai dari tikus senior yang gemuk sampai tikus junior yang kurus nan dekil. Mereka menemani masa waktu kita sejak pertama kali belanja di Babakan raya hingga mengurus toga. Dan selama itu pula lah tikus-tikus melanjutkan keturunannya di dunia bawah sana.
Saking akrabnya, seekor tikus dapat bebas lenggang kangkung saat papasan dengan segerombol aktivis kampus yang baru selesai radiv. Tapi mereka seakan tak peduli saja begitu. Ah, atau mungkin tikusnya saja yang sudah bertingkah sok post-modern. Dengan asyiknya ia keluar-masuk liang selokan yang entah berjejaring seluas apa dan sejauh mana.
Hubungan kita dan tikus sebetulnya unik. Tikus sudah seperti jawara kampung sini, artinya kita yang pendatang ini harus sopan dan minta ijin kalau mau lewat. Kita tidak boleh mengganggu kesenangan tikus mengubek-ubek tumpukan sisa nasi goreng ati ampela. Kita hanya boleh memalingkan muka jika tak suka.
Hidup mahasiswa jadi terlalu dilematis. Mau tak mau, kita harus patuh dan tak boleh komplain selama berperan jadi konsumen. Tanpa jasa tikus-tikus itu, barangkali kita akan kerepotan dengan sisa makanan warteg sebelah. Mau dibiarkan membusuk?
Tak usah berharap banyak pada kucing. Mereka sudah dapat jatah lebih dari cukup. Kucing-kucing tambun itu mana mau menyisihkan tenaga untuk mengejar tikus. Kucing kampung sini -yang tak kalah jorok dari tikus- sudah pensiun dari pekerjaan konvensional macam itu. Kucing dan tikus sudah kompromi. Mereka hidup damai bersama sisa-sisa rendang masakan padang.
Oh betapa menakjubkannya. Mungkin di bawah sana, puluhan ribu tikus hidup berdesakan dalam lubang-lubang yang saling terhubung seluas wilayah Babakan ini. Tikus-tikus mencari makan dan bersemayam membentuk masyarakatnya sendiri. Bagaimana tidak. Selama satu siklus hidupnya, dalam keadaan normal sepasang tikus dapat berkembang biak sebanyak 1270 ekor. Bayangkan jika ada ratusan tikus betina yang mengandung di lorong-lorong selokan kita di bawah sana.
Tentu saja ada andil kita -dalam arti luas- sebagai penyedia sumber hidup para tikus. Faktor fisik seperti pemukiman padat, jumlah penduduk, dan sanitasi yang mahaburuk adalah biang dari joroknya ekosistem hewani kita. Artinya, ancaman ledakan penyakit dengan tikus sebagai agennya bisa menyerang kita kapan saja. Aneka kutu dan tungau berbahaya seperti kutu pes makin amat bahagia hidup di sela-sela rambut tikus.
Ada cara tertentu yang bisa digunakan untuk mengusir tikus atau memaksa mereka keluar dari sarangnya. Ada yang menyarankan pakai perangkat fisik, fumigasi ke lubang tikus, atau dengan menembakkan gelombang suara dengan frekuensi tertentu. Seharusnya ini mudah, karena di IPB ada banyak ahli yang mengerti soal pengendalian hama rodentia ini. Lagipula, tikus bukan jenis hama kemarin sore. Barangkali kita bisa konsultasi ke Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman (UPKHP) di Fakultas Kedokteran Hewan untuk masalah hewan pengerat ini.
Entah kapan atau suatu hari nanti, urusan tikus ini bisa ditangani secara serius. Mulai dari reduksi populasi, perbaikan sanitasi hingga urusan birokrasinya bisa rembug dan punya cita-cita yang sama : tikus pergi atau mati.
Muhammad Fahmi Alby
Mahasiswa Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB 47
Tambahkan Komentar