‘Jangan menyimpan seseorang dalam sebuah lagu’ kata seseorang. Bagiku kalimat itu hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Hippocampusku terlalu kuat untuk mengingat setiap sudut tempat yang pernah ditapaki. Seperti saat ini, lari sore sambil mendengar setiap playlist spotify-mu yang klasik itu–bagiku. Setiap langkah, aku selalu melihat sekitar. Tempat duduk di taman, jalanan yang pernah dilewati, atau bahkan derung motor orang yang lewat. Aku bahkan bisa menebak apakah itu kamu atau bukan hanya dari derung motor tersebut. Apakah kamu begitu? atau kamu sedang terbuai dengan seseorang lainnya?
Seperti malam itu. Ketika hujan mulai menelanjangi bumi dan dengan lihainya aku mendengar derung motor yang familiar. Aku meyakinkan diri itu bukan kamu, tetapi tuhan menciptakan mata dengan sangat sempurna. Aku tahu itu kamu. Bersama seorang perempuan. Tidak ada rasa cemburu, seperti biasa aku merasa lega bisa diberi kesempatan untuk diberikan kesadaran. Aku hanya sangat menyayangkan kita pernah dekat, maksudku, bukan berarti aku menyesal kita pernah dekat, tidak sama sekali.
Aku sangat tertutup soal cinta, bahkan saking seringnya gagal dalam bidang ini, aku pernah berpikir tidak masalah tidak memiliki kisah seperti itu. Sampai kamu datang membawa kupu-kupu dalam perutku dan menerbangkannya hingga ke awan. Namun, aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu yan tidak seperti kebanyakan orang. Dari semua hal buruk tentangmu yang masuk ke telingaku, aku tutup rapat dan mengkesampingkan hal itu. Aku tahu, itu bukan urusanku untuk mencampuri hal-hal yang sangat naif jika aku ingin mengubahnya. Jika ingin lebih baik, rasanya memang harus dimulai dari diri sendiri. Aku menikmati saat-saat kamu hadir dan berusaha untuk tidak menilai jelek diriku, atau mungkin kamu tidak peduli.
‘Dan, dan bila esok, datang kembali..” sepenggal lirik lagu Sheila on 7 itu cukup menggelitik bagiku. Setelah kamu yang memilih pergi dan menghilang, kamu datang kembali. Sebetulnya ada atau tidaknya kamu dihidupku tidak ada bedanya karena aku terbiasa untuk sendirian. Anehnya, kamu datang lagi seperti angin yang berhembus pelan. Bodohnya, aku masih berusaha untuk menanggapinya, tetapi dengan kepala dingin.
Seperti yang aku bilang, aku tidak menyesal telah membuka hati untuk seseorang. Terima kasih telah memberi pelajaran yang sangat berharga bagaimana aku harus memilih seseorang. Meskipun hanya teman yang sedikit dekat itu, aku bisa belajar banyak hal.
Musim hujan rasanya terasa lebih lama daripada musim kemarau. Itu sebabnya musik terus mengalun di antara rinai hujan yang tak berkesudahan. Ketika itu, setelah hujan reda, pertama kalinya aku bertegur sapa dengamu. Kamu juga mengeluhkan soal celana pendekmu yang merasa tidak sopan untuk dipakai sampai pertemuan terakhir kamu yang bolos kelas hanya untuk mengambil amunisi UTS, itu semua masih melekat dalam hippocampus bersama playlist yang sering ku putar setiap hari.
***
Reporter: Rosita
Editor: Nurmala Pratiwi
Ilustrator: Naurah Aiman Hamidah
Tambahkan Komentar