Menyelami Filsafat : Perjalanan Kayla dan Ilyas

Kayla, seorang mahasiswa baru di sebuah kampus pertanian, sedang mencari referensi untuk tugas laporannya di perpustakaan. Sejak kecil, ia selalu merasa tenang ketika tenggelam dalam dunia buku, terutama buku filsafat yang membantunya memahami dunia dengan cara yang berbeda. Namun, kali ini, ia merasa tertekan. Buku-buku referensi untuk tugasnya terasa membosankan, dan pikirannya terus melayang ke satu buku yang selalu ingin ia baca: Sejarah Filsafat Barat karya Bertrand Russell.

Suatu malam, saat sedang beristirahat di perpustakaan yang sepi dan hanya diterangi lampu-lampu redup, ia terbangun oleh suara dentuman keras dari sudut ruangan. Suara itu berasal dari seorang pria gondrong bernama Ilyas, mahasiswa tingkat akhir dari fakultas teknik yang dikenal cerdas tapi sering terlihat stres. Sebuah buku tebal jatuh dari tasnya, dan Kayla mengenali sampulnya—itu adalah buku filsafat yang selama ini ingin ia baca.

Kayla menatap buku itu dengan penuh rasa ingin tahu. Ilyas yang menyadari tatapan Kayla, tersenyum tipis sambil mengusap kepalanya yang terbentur meja. “Kamu tertarik dengan ini?” tanyanya sembari mengangkat buku yang jatuh.

Kayla mengangguk ragu. “Aku selalu ingin membacanya, tapi… sepertinya terlalu sulit untukku. Aku takut tidak mengerti.”

Ilyas tertawa kecil. “Buku tebal seperti ini bukan untuk ditaklukkan dalam sehari. Kamu harus menikmatinya secara perlahan, saat itulah kamu akan menemukan keindahannya. Satu halaman per hari lebih baik daripada tidak membaca sama sekali.”

Kayla terdiam, kata-kata Ilyas melekat di benaknya. Malam itu, ia memberanikan diri membuka buku Bertrand Russell. Namun, ketika membaca beberapa halaman pertama, ia merasa kepalanya penuh dengan istilah yang sulit ia pahami. Ia hampir menyerah, merasa bodoh dan tidak cukup pintar untuk memahami pemikiran filsuf besar itu.

Keesokan harinya, Kayla bertemu kembali dengan Ilyas di perpustakaan. Dengan wajah yang tampak frustasi, Kayla menghampiri Ilyas. “Aku mencoba membaca buku itu tadi malam, tapi aku tidak mengerti apa-apa,” keluhnya dengan nada putus asa.

Ilyas tersenyum. “Itu wajar, aku juga dulu merasa begitu. Mulai sekarang, coba kamu tuliskan apa yang kamu pahami di jurnal kecil. Terkadang, saat kita menuliskannya, ide-ide sulit jadi lebih jelas.”

Kayla ragu, tetapi ia mencoba. Sejak saat itu, ia mulai membaca satu halaman setiap malam dan mencatat pemikirannya. Beberapa kali, ia masih merasa kesulitan, namun ia tetap bertahan. Seiring waktu, ia mulai memahami esensi pemikiran Russell tentang logika dan skeptisisme. Perlahan, ia mulai menikmatinya.

Sementara itu, Ilyas juga menghadapi tantangannya sendiri. Tugas akhirnya semakin menumpuk dan stres, sering kali membuatnya kehilangan semangat. Ada suatu malam di mana ia terlihat benar-benar kelelahan. Kayla menyadarinya dan mendekati pria itu. “Kamu selalu membantuku memahami filsafat. Mungkin kali ini aku bisa mendengar keluhanmu?” katanya lembut.

Ilyas terdiam, lalu menghela nafas panjang. “Aku merasa tidak cukup baik. Aku sudah mencoba menyelesaikan proyek ini selama berbulan-bulan, tapi rasanya selalu ada yang kurang. Kadang aku berpikir, apakah aku benar-benar bisa menyelesaikannya?”

Kayla menatapnya dengan penuh empati. “Bukankah tadi malam kamu bilang, buku tebal tidak perlu ditaklukkan dalam sehari? Aku rasa, tugas akhir juga seperti itu.”

Ilyas tersenyum lemah. “Kamu mengutip kata-kataku sendiri, ya?”

“Karena itu benar,” ujar Kayla.

Hari-hari berlalu dan mereka semakin sering berdiskusi—bukan hanya tentang filsafat, tetapi juga tentang mimpi dan ketakutan mereka. Suatu hari, Ilyas menyerahkan sebuah buku catatan kecil kepada Kayla. “Ini jurnal bacaan harian yang kutulis selama beberapa tahun. Aku mencatat pemikiranku tentang buku-buku yang kubaca di sini. Mungkin, jurnal ini bisa membantumu.”

Kayla membolak-balik halaman jurnal itu. Ia terkesan dengan kedalaman pemikiran Ilyas dan bagaimana ia mampu menghubungkan filsafat dengan kehidupan nyata. Inspirasi mengalir dalam dirinya. Sejak saat itu, menulis refleksi menjadi kebiasaannya, bukan hanya tentang filsafat, tetapi juga tentang hidupnya sendiri.

Kebiasaan itu membuat Kayla menjadi pribadi yang lebih baik. Sampai tidak sadar, bahwa sebentar lagi ia akan menyelesaikan buku tebal itu. Kayla ingin segera bertemu dengan Ilyas, membahas banyak hal, membicarakan isi buku dan jurnal harian yang telah ia tulis. Sosok Ilyas secara tidak langsung telah berkontribusi banyak terhadap perkembangan dirinya.

Beberapa bulan kemudian, Ilyas berhasil menyelesaikan tugas akhirnya. Saat bertemu di perpustakaan, wajahnya tampak lebih lega daripada sebelumnya. “Akhirnya selesai,” katanya sambil tersenyum lebar.

Kayla ikut tersenyum. “Aku ikut senang. Aku juga mau bilang sesuatu—aku hampir selesai membaca buku Bertrand Russell. Dan tahu apa? Aku benar-benar menikmatinya.”

Ilyas tertawa. “Aku tidak ragu sedikit pun soal itu.”

Kayla tersenyum. “Pada akhirnya kamu menyelesaikan apa yang menjadi tujuan utamamu, setelah semua tugas akhir itu, apa yang mau kamu lakukan selanjutnya?”

Pertanyaan itu dijawab dengan spontan oleh Ilyas, “Aku akan berjuang. Aku, akan berjuang dengan semua bekal ilmu yang telah aku peroleh. Kayla, kamu perlu tahu, selama 4 tahun ke belakang ini—aku telah mendapatkan berbagai pengalaman baru. Tentu saja, aku ingin berbagi pengalaman-pengalaman itu dengan masyarakat umum. Aku ingin menulis buku.”

Kayla senang sekaligus semangat saat mendengar jawaban itu, “Tentu saja kamu bisa! Bahkan isi dari jurnal yang kamu tulis menginspirasiku untuk melakukan hal yang serupa. Tulisanmu begitu dalam dan tajam, tentu kamu cocok untuk menulis banyak buku. Ketika waktu itu tiba, aku siap menjadi pembaca pertamamu.”

“Senang sekali mendengar pujian itu, terima kasih Kayla.” Ujar Ilyas.

Kayla teringat akan jurnalnya yang tersimpan dalam tas. “Aku ingin membahas soal jurnal yang telah kutulis.”

Mereka pun mulai membahas banyak pemikiran dari buku Sejarah Filsafat Barat, sebuah buku yang telah membuat mereka berdua mengenal satu sama lain. Sebuah buku tebal yang mengajarkan perkembangan pikiran, karya, dan ide para filsuf.  

Malam itu, mereka duduk berdampingan di perpustakaan yang tenang, masing-masing tenggelam dalam buku mereka. Kayla menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang membaca buku atau memahami filsafat, tetapi juga tentang menemukan keberanian, kesabaran, dan seorang teman yang mengubah cara pandangnya terhadap dunia.

Selang beberapa bulan setelah Ilyas lulus, Kayla duduk sendirian di perpustakaan kampus yang tenang, merenungi perjalanan belajarnya di bangku perkuliahan. Ia membuka jurnal harian yang selalu ia bawa, tempat ia mencatat pemikiran dan refleksinya setiap kali membaca buku.

Kayla teringat ketika pertama kali membaca buku Bertrand Russel. Ketika ia merasa tidak cukup pintar untuk memahami sebuah buku tebal dari seorang filsuf besar. Namun, pertemuannya dengan Ilyas memberikan dorongan dan tekad yang kuat, ia mulai membaca satu halaman setiap malam dan rutin mencatat apa yang ia pahami.

Seiring waktu, Kayla mulai melihat perubahan dalam dirinya. Ia tidak lagi merasa kesulitan memahami istilah-istilah yang kompleks. Sebaliknya, ia mulai menikmati proses memahami konsep yang sebelumnya terasa asing. Setiap buku baru yang ia baca membuka wawasan baru tentang dunia dan cara berpikir yang berbeda. 

Kayla menulis di jurnalnya:

“Hari ini, aku menyadari bahwa filsafat bukan hanya tentang memahami teori-teori abstrak, tetapi tentang bagaimana kita melihat dan memahami dunia di sekitar kita. Pemikiran yang telah Russel tulis mengajarkanku untuk selalu bertanya dan mencari kebenaran, bukan hanya menerima apa yang ada di permukaan.”

Ia juga mencatat bagaimana pemikiran filsafat telah mempengaruhi pandangannya terhadap kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika ia mulai melihat masalah yang dihadapinya dari perspektif yang lebih luas dan kritis. Ia belajar untuk tidak mudah menyerah dan selalu mencari solusi terbaik.

“Filsafat mengajariku bahwa setiap masalah memiliki banyak sisi, penting untuk bisa melihat masalah itu dari berbagai perspektif. Ini akan membantuku menjadi lebih sabar dan bijaksana dalam menghadapi tantangan.”

Kayla juga merenungkan kembali bagaimana perjalanan belajarnya telah membentuk pribadi dan orang-orang di sekitarnya. Ia merasa sangat berterima kasih kepada Ilyas, orang yang selalu mendukung dan membimbingnya. Persahabatan mereka yang begitu kuat, serta diskusi-diskusi mereka tentang filsafat dan buku, menjadi momen yang sangat berharga dan tak terlupakan.

“Ilyas telah mengajarkanku bahwa belajar adalah proses yang berkelanjutan dan tidak ada yang salah dengan merasa bingung atau tidak mengerti. Yang terpenting adalah terus menerus berusaha dan tidak takut untuk bertanya.”

Setiap halaman buku yang ia baca dan setiap refleksi yang ia tulis, membuatnya semakin yakin dengan kemampuannya. Ia menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang kuliah, duduk di bangku, dan mendengarkan dosen semata, tetapi juga tentang menemukan keberanian dan ketekunan dalam dirinya sendiri.

Kayla menutup jurnalnya dengan senyum lebar di wajahnya. Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang. Tetapi, kini ia siap menghadapi tiap tantangan dengan semangat dan keyakinan baru. Membaca buku telah membuka matanya terhadap dunia yang lebih luas dan memberinya alat untuk memahami dan menghadapi kehidupan dengan cara yang lebih bijaksana. 

***

Reporter: Muhammad Diki Syawaludin

Editor: Nabila Farasayu Pamuji

Fotografer: Nova Sahwalia

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.