Emmy Kardinasari, Mahasiswa Biokimia 47
Malam telah larut ketika hujan turun kembali membasahi setiap inchi dedaunan yang masih belum kering dari sisa hujan sejak pagi hari. Suasana alam di luar sana begitu mencekam dengan hiasan petir yang sesekali membentuk garis lurus besar seolah cahayanya berakhir di cakrawala. Angin masih terus menggoyangkan ranting-ranting kering, dari pohon mangga tua yang terus menggores jendelaku yang basah. Dalam hati aku terus bertanya, kapan hujan akan berhenti turun dan membiarkan rembulan untuk menunjukkan dirinya?
Sunyi, kamar empat kali empat meter itu terasa begitu sunyi. Suara berat napas dari ketiga temanku masih bisa kudengar sekalipun hujan masih terus mengalunkan musik di atas atap kamar kami. Terkadang aku begitu mencintai hujan, namun kadang aku begitu membencinya. Hujan malam ini membuatku merasa sendiri. Derap langkah di lorong-lorong asrama tidak lagi terdengar. Udara dingin seolah dapat menembus tiap sel di tubuhku, menari hingga ke intinya.
Aku memejamkan mata, memaksakan otakku untuk menghitung domba-domba berbulu lebat melewati lingkaran api seperti atraksi lumba-lumba. Namun, mataku kembali terbuka tiap kali lingkaran kawat dengan api yang menyala-nyala itu menyentuh bulu lebat domba-domba itu. Aku meraih ponsel di balik bantal asrama yang masih berbau karena debu, melihat jam menunjukkan pukul sebelas malam. Mengapa aku masih tetap terjaga? Ada apa denganku malam ini?
Lima menit setelah itu aku kembali membuka ponselku, hanya untuk memeriksa bahwa memang hari belum berganti. Aku melihat layar ponselku menampilkan foto sebuah keluarga kecil yang bertidi dari lima orang. Seorang Ibu yang menggendong seorang balita perempuan dengan rambut pendek, seorang Ayah dengan kacamat berembun yang tersenyum bangga memeluk seorang anak perempuannya dan seorang anak laki-laki. Aku mengusap layar ponsel tuaku yang mulai buram, melihat dengan teliti bahwa gadis yang ada di sana adalah diriku.
“ Ayah… Ibu…” gumamku lirih pada kegelapan malam.
Sadar bahwa aku tidak akan mendapatkan jawaban, aku menutup wajahku dengan selimut. Menyeka sedikit bulir air yang menggantung di kelopak mataku. Sekalipun begitu, aku menyisipkan sebuah harapan bahwa kerinduanku dalam kesendirian ini dapat dirasakan oleh mereka yang kurindukan. Andai saja aku dapat melihat wajah mereka secara langsung setiap kali rasa rinduku kepada mereka menyerangku. Aku hanya dapat menatap ke arah layar ponselku lalu mendekatkannya ke pelukanku hingga aku terlelap.
Gaung adzan subuh pagi itu seolah menari di telingaku, memaksaku membuka mataku untuk menyambutnya. Aku mengangkat tubuhku yang kaku lalu kurentangkan tanganku sebelum berusaha meraih stop kontak untuk mencari penerangan. Ketiga teman sekamarku masih terlelap karena napas berat mereka masih terdengar. Kuputuskan kembali untuk mematikan lampu kamar kami.
Tepat ketika aku hendak mengambil wudhu, kudengar ponselku berdering. Aku meraihnya dan mengangkat sebuah telepon masuk yang begitu kutunggu.
Ayah. begitulah tulisan yang tertera di sana.
“ Assalamualaikum…” sapaku.
“ Waalaikumsalam,” jawabnya. “ Ayo bangun, sudah subuh.”
Aku tersenyum, ada perasaan lega yang begitu hangat ketika mendengar suaranya lagi.
“ Aku baru saja bangun Yah, aku baru bangkit untuk mengambil wudhu tepat ketika Ayah menelepon.”
Aku mendengar kekehan khasnya, “ Ayah pikir kamu belum bangun, ada salam dari Ibu, katanya Ibu rindu.”
“ Aku juga rindu Ayah dan Ibu sejak hari pertama, rasanya aku ingin Ayah dan Ibu tetap di sini,” rengekku.
“ Ayoo ingat niatmu apa ketika menulis untuk menjadi salah satu pendaftar…”
“ Aku tahu Yah, tapi aku rindu Ayaahhh…”
“ Sungguh?” Tanya Ayahku menggodaku.
“ Tentu saja Yah, aku rasanya ingin bertemu Ayah dan Ibu,” kataku.
Ayahku berdeham, detik itu juga aku bersiap untuk mendengarkan ceramah panjang. Namun, aku terkejut ketika ayahku hanya berkata, “ jika memang rindu Ayah, bawakan Ayah hadiah.”
“ Hadiah?” Tanyaku, mengernyitkan keningku. Mengapa tiba-tiba ayahku menginginkan hadiah dariku.
“ Mau tahu hadiah apa yang Ayah inginkan?” Tanyanya.
“ Iya,” sahutku cepat.
“ Bawakan Ayah kabar gembira, apapun itu, Ayah hanya ingin mendengar sebuah kabar gembira.”
Aku menelengkan kepalaku, berpikir.
“ Janji pada Ayah,” pintanya.
“ Baiklah,” jawabku.
“ Nah, sekarang shalatlah, jangan lupa berdzikir dan berdoa.”
Aku mengangguk lalu menutup telepon. Setelah itu aku bangkit untuk berwudhu dan melakukan shalat subuh. Terngiang permintaan ayahku ketika aku mulai berdoa. Dalam diam kulafalkan sebuah do’a kecil…
Ya Allah, jika memang jalan ini adalah jalan yang tepat bagiku, maka mantapkanlah. Jika jalan ini adalah jalan yang kau buka untukku meraih mimpiku, maka bentangkanlah. Berikan aku sebuah kesempatan untuk pulang kembali dan sampaikan sebuah kabar bahagia untuknya. Sebuah kabar bahagia tentang setiap langkah dan senyuman yang akan kutemukan. Alirkanlah napas keikhlasan dalam nadi perjuanganku, biarkan kusampaikan padanya nanti.
Ayah… setiap kesuksesan ini adalah tiap tetes keringat yang Ayah perjuangkan untukku. Terima kasih Ayah.*
Tambahkan Komentar