Sabtu (29/6/24) diperingati sebagai Hari Nelayan Internasional. Menanggapi hal ini, Kastrat BEM FPIK menyampaikan pendapat dan kekhawatirannya terkait besarnya tingkat pencemaran laut di Indonesia.
Thariq, ketua divisi Kastrat BEM FPIK menuturkan bahwa salah satu faktor pencemaran laut adalah pemerintah yang tidak perhatian terhadap kasus ini. Indonesia merupakan pencemar laut terbesar kedua di dunia. Kegiatan industri menjadi salah satu dalang, didukung program pemerintah yang tidak terlaksana dengan baik. Pencemaran laut terjadi 100 meter dari bibir pantai, sementara nelayan menyebar dalam radius 200-500 meter dari bibir pantai. Namun, tentu jumlah biota laut berkurang dan timbul penyakit akibat pencemaran laut.
Indonesia memiliki kebijakan yang tertuang dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perlindungan Nelayan. Namun hal ini belum terlaksana dengan baik, terutama segi regulasi. Menurut Thariq, akar masalah tidak dipotong dengan tegas. Pemerintah pun kurang peduli terhadap keselamatan nelayan, menyebabkan nelayan banyak diperlakukan tidak adil.
Dalam mengatasi kasus berat ini, solusi yang Kastrat BEM FPIK berikan adalah dengan mengkampanyekan pentingnya menjaga kesehatan laut yang dapat dimulai dari langkah kecil. Mengurangi sampah plastik adalah salah satu contohnya.
Thariq menyampaikan harapannya, “semoga negara agromaritim ini dapat memanfaatkan SDA dengan baik. Pemangku kekuasaan harus menilik kembali kekayaan terbesar Indonesia.” Ia menambahkan, laut latuna merupakan pusat perairan Asia Tenggara yang diambil oleh China. Pemerintah harus lebih tegas terhadap regulasi yang berlaku. Profesi nelayan sangat dibutuhkan untuk mengembalikan SDA yang dimiliki Indonesia.
***
Reporter: Yozadhena Kayla Putri Pembayun , Aisyah Ahadini Zuhaila , Bagus Apriano Nur Sukma
Ilustrator: Nur Ratna Amalia
Editor: Rafly Muzakki
Tambahkan Komentar