[OPINI] IPB Green Campus 2020 Concept: Komersialisme Transportasi Monopolistik Di Institusi Yang Katanya Kampus Rakyat

          Saat ini IPB telah mencanangkan konsep green campus. Green campus merupakan paradigma global yang menerapkan fungsi pelestarian lingkungan penunjang desain fungsi keseimbangan sebagai upaya antisipasi perubahan iklim dan penurunan emisi di lingkungan kampus, dimana para civitasnya memiliki mobilitas tinggi dalam hal pemanfaatan komunikasi dan sumber daya yang tinggi. Konsep “green campus” sangat relevan diterapkan di lembaga pendidikan tinggi seperti IPB dan berperan sebagai role- model nya. Banyak tentunya elemen dan indikator untuk memenuhi syarat IPB menjadi green campus, tapi tidak dapat dinafikan bahwa IPB sendiri sebagai institusi pertanian yang populis tidak memenuhi indikator-indikator tersebut, seperti penghijauan, efisiensi listrik, pengelolaan air dan sampah, dan emisi serta sistem manajemen lingkungannya. Justru gerakan green campus IPB saat ini mengedepankan “green transportation” berbayar yang dikelola anak perusahaan IPB yakni BLST, dengan tujuan penurunan emisi/polusi di lingkungan kampus.

          Sedangkan saat ini IPB menggalakkan pembangunan besar-besaran seperti pembangunan Fakultas FEM, FPIK dan pembaharuan LSI dan bangunan lainnya yang menebangi pohon-pohon dan berdampak pada kurangnya preventif polusi. Selain itu pemakaian listrik IPB dilaporkan mencapai nilai 23 milyar per tahunnya disertai dengan pengelolaan sistem lingkungan yang tidak mencerminkan sebagai green campus, seperti manajemen pengelolaan air dan sampah yang menerapkan 3R (Reuse, Recycle, Reduce). Padahal upaya penghijauan dan perbaikan manajemen sistem yang berorientasi “green” justru lebih relevan daripada mengedepankan transportasi green. Karena kebijakan ini  dianggap tidak realistis dan implementasinya yang syarat bisnis.

          Tentunya label green campus akan meningkatkan status IPB sebagai kampus yang ekologis. Peran serta semua civitas pastinya sangat diperlukan. Namun bentuk manifestasi peran civitasnya apakah harus syarat komersial dan peran yang berbentuk insentif? Padahal manifest-cost dan pengelolaannya untuk menjadi kampus green pastinya telah dianggarkan dalam perencanaan pembangunan IPB dan menjadi tanggung jawab IPB, negara dan pemerintah daerah dalam anggaran pendapatan belanja negara dan daerah (sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan Presiden SBY No 58. Tahun 2013 tentang status bentuk dan mekanisme pendanaan PTN berbadan hukum). Sehingga perlu dipertanyakan upaya IPB untuk mewujudkan kampus hijau dalam hal pembiayaan menjadi kewajiban siapa.

ilustrasi oleh : M Qomarul Huda
ilustrasi oleh : M Qomarul Huda

          Kebijakan “green transportation” merangkap pengelolaan parkir berbayar (ada kemungkinan dibebankan Rp. 2000/parkir dan dihitung perjam), penyewaan sepeda-sepeda, pemberdayaan mobil listrik hibah “gubernur jawa barat” dan bus berbahan bakar gas yang beroperasi mulai jam 7 pagi hingga 10 malam dengan insentif Rp. 2000/pemakaian, dengan BEM KM IPB sebagai promotornya. Pembebanan biaya ini bagi civitas IPB tentunya sangat memberatkan civitas IPB khususnya mahasiswa IPB. Sehingga perlu dipertanyakan kejelasan bahwa untuk menciptakan IPB sebagai kampus hijau menjadi tanggung jawab pembiayaan siapa. Di sisi lain, dampak kebijakan ini mengesampingkan aspek mobilitas logistik civitas dan masyarakat sekitar kampus IPB, serta bisa mematikan transportasi komersial rakyat sekitar (ojek). Dengan adanya bisnis transportasi yang jumlahnya masih terbatas ini, civitas juga akan terkendala dalam hal mobilitas dan pembiayaan. Ditambah lagi pembayaran SPP dan uang masuk IPB yang meningkat setiap tahunnya. Bentuk pembayaran yang diterapkan oleh pihak BLST yakni dalam bentuk elektronik (tap-cash) dan dikelola bank BNI. Artinya pihak-pihak yang diuntungkan secara ekonomis yakni IPB, BLST, dan Bank BNI. Padahal kaedah-kaedah “green campus concept” perlu  mempertimbangkan costs benefits dan efisiensinya serta unsur unsur makro-sosial seperti civitas dan masyarakat setempat sesuai yang dilansir oleh US Environmental Protection Agency (EPA) Region dan All New England Environmental Assistance Team (NEEATeam). Lalu untuk apakah nilai ekonomis green transportation ini?

PP  yang dikeluarkan Presiden Soesilo Bambang Yoedhoyono No 58. Tahun 2013 tentang “Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTN Berbadan Hukum” mengubah status perguruan tinggi negeri di Indonesia yang tadinya berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bermetamorfosis menjadi PTN Berbadan Hukum. Sehingga sebagian kampus tersebut diberikan akses kebijakan pendanaan akademis dan non akademis yang lebih komprehensif daripada status BHMN yang penuh perdebatan sejak dikeluarkannya UU No 20 Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003. Menurut Dirjen Dikti Djoko Santoso Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di harian Kompas (23/10/2013), bahwa penerbitan UU PTN BH bagi penyelenggara pendidikan seperti perguruan tinggi negeri tidak boleh komersial. Undang-undang PTN BH yang diterbitkan memang memberikan keleluasaan yang lebih komprehensif baik secara akademis maupun non-akademis bagi penyelenggara pendidikan, terutama dalam hal mekanisme dan bentuk pendanaan yang mandiri.

Namun pada kenyataanya, kebijakan ini juga banyak menuai kontroversi dan kritik, yakni PTN BH mengindikasikan adanya liberalisasi lembaga pendidikan tinggi negeri dan ber-image komersil. Sehingga bila mana kebijakan “green transportation” diyakini menjadi salah satu satu bentuk dan mekanisme pendanaan IPB, apakah kebijakan ini relevan dengan undang-undang PTN BH dan relevansi IPB sebagai perguruan tinggi yang memegang teguh Tri Dharma Perguruan Tinggi? Bagaimana pula peran dan fungsi riil Negara dan Pemerintah Daerah yang tentunya juga berperan dalam mekanisme pendanaan perguruan tinggi?

Opini oleh:

Y. R. Yanza

baca juga terkait Green Campus

Redaksi Koran Kampus

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

9 Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

  • saya setuju dengan pendapat berita diatas. UKT ipb yang terus meningkat setiap tahunnya seharusnya bisa “mengcover” pembangunan diatas kalau saya tidak salah. terima kasih

  • .saya setuju dengan pendapat berita diatas. UKT ipb yang terus meningkat setiap tahunnya seharusnya bisa “mengcover” pembangunan diatas kalau saya tidak salah. terima kasih. jika memang ada info lebih lanjut, saya sebagai mahasiswa baru mohon diinfokan

  • Perlu ditelaah secara kritis oleh kita semua, beberapa poin:
    1. pergeseran label “Kampus Rakyat” menjadi “Kampus Hijau” (Green Campus), tentu memiliki konsekuensi pada pergeseran ideologi dan paradigma dalam penyelenggaraan pendidikan IPB.
    2. Kehadiran “PT.BLST” sebagai pihak ketiga dalam peta aktor penyediaan jasa transportasi, perlu dipertanyakan dengan TANDA TANYA BESAR (?). Mengapa tidak langsung dikelola oleh IPB, dengan membentuk unit pengelolaan sendiri. Sehingga tentunya kita semua (melalui MWA, misalnya), dapat melakukan kontrol, evaluasi, pengawasan secara bersama-sama.
    Apalagi jika nantinya semua kendaraan bermotor dilarang beredar di dalam kampus, maka jasa transportasi mobil listrik, bis, dsb ini menjadi bisnis yang “monopolistik”. Kedaulatan IPB akan berada di bawah PT.BLST dalam penyelenggaraan jasa transportasi.

    • mas bergas, BLST itu bukan pihak swasta. BLST itu adalah lembaga bentukan IPB yang khusus menangani hal-hal yang berbau komersil. Berhubung IPB cukup banyak punya proyek komersil sedangkan Universitas / lembaga pendidikan tidak diperkenankan untuk komersialisasi jadinya dibentuk BLST. jadi, ya BLST itu sama dengan IPB sendiri.

      Salam kenal, Hanif C43

      • Mas Hanif,
        apakah anda tau bedanya “swasta” dan “negeri”?.. dan apakah saya menyinggung soal label “swasta” atau “negeri”..?
        mgkn maksud Anda, BLST semacam BUMN-nya IPB begitu,, sama seperti Perhutani (dalam pengelolaan hutan) atau Pertamina (pengelolaan sumberdaya minyak) bagi Negara.. melihat komposisi sahamnya, bisa jadi begitu. Tapi, apakah bisa menyamakan “Perhutani” dengan “Republik Indonesia”? dari Visi-misi dua bentuk itu saja berbeda, bagaimana bisa disamakan.. ^^..
        Selain itu, Perhutani dan Pertamina itu profit oriented, Apakah ada badan hukum berbentuk “Perseroan Terbatas” (PT), yg tidak profit oriented? jika IPB memang tidak punya orientasi profit, maka lepaskan BLST dari lingkaran kepentingan green campus ini,.. jika tujuannya melayani publik (dalam konteks negara: melayani rakyat), ya IPB saja penyelenggaranya… baru sesuai..

        Dalam opini saya, saya rasa saya tidak mempermasalahkan soal swasta atau negeri.. saya hanya mengatakan BLST “pihak ketiga”. kenapa begitu? karena kenapa tidak langsung IPB saja yang mengelola sektor transportasinya, dengan membentuk unit khusus begitu,, kan bisa saja… kecuali jika memang ada orientasi bisnis di dalamnya. Ingat! ketika green campus ini diberlakukan dan kendaraan bermotor dilarang, maka sektor transportasi akan menjadi bisnis yang MONOPOLISTIK.,,,

  • Tidak perlu berlebihan. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Aturan ini untuk mengurang mobilitas sepeda motor. itu utamanya. Mahasiswa tidak perlu cengeng. Kalau tidak mau bayar, ya jalan kaki. Kalau mau enak ya bayar (pay more you get more). Angkatan senior atau saya angkatan 38 S1 dan skrng 52 (S2), juga tidak mengalami era banyak sepeda motor spt sekarang, dan mereka jalan kaki dari ujung ke ujung. No problem. We survived.

    Tidak perlu cengeng dan banyak berteori, kalau tidak suka, pindah ke kampus lain saja yang memberikan layanan yang anda mau. Jalan kaki itu sehat, sekian puluh angkatan sebelumnya sudah mengalaminya. Kenapa anda rewel?

      • Bung Aditya,
        kalau begitu sebaiknya anda kuliah saja yang benar.. saya doakan semoga dengan gelar S2 nya bisa mendatangkan hidup yang lebih nyaman lagi. Ya, cukup pikirkan diri sendiri saja.

        “pay more you get more”..
        apakah maksud Anda, biarkan mereka yg tidak bisa membayar ini mendapat fasilitas yg berbeda dengan mereka yang bisa membayar (baca: kaya)..? Jadi, maksud Anda, proses belajar yang nyaman, aman, dan memadai hanya untuk yang bisa membayar?

        Saya pikir, jika anda mendukung “jalan kaki sehat” atau “kampus bebas polusi kendaraan bermotor”, mengapa harus ada kesenjangan yang membedakan antara “yang mampu bayar” dan “tidak mampu bayar”..? Atau Anda sudah begitu apathisnya karena anda cukup mampu untuk membayar?

        Mohon maafkan saya apabila perkataan saya terlalu keras,,, sekali lagi maafkan, hanya saya tidak bisa habis pikir, bagaimana bisa anda menuding mereka yg protes dengan KETIDAKADILAN sebagai golongan orang yang “rewel”..??

    • jika ada istilah “pay more you get more” , berarti mobil listrik/bus tidak bisa menjadi “fasilitas kampus” seutuhnya.