Acara diskusi Mata Najwa menjadi saksi bahwa gelombang lapisan masyarakat Indonesia berada pada tingkat yang tidak sejalan. Penggunaan data statistik secara keseluruhan kurang menggambarkan acara tersebut. Budaya “Viralisme” pun merupakan suatu pertanda bahwa masyarakat kita masih lemah dalam tindakan preventif dan peka terhadap lingkungan sekitarnya. Para narasumber dari pemerintah, DPR dan mahasiswa yang membawa misi masing-masing membuat masyarakat memiliki berbagai pandangan. Dalam dunia persepakbolaan, kartu kuning biasa diacungkan wasit ketika pertandingan. Buku Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes) Sekolah Dasar menjelaskan makna diacungkannya kartu kuning tersebut. “Apabila seorang pemain melakukan pelanggaran cukup berat atau pelanggaran biasa yang berulang kali, maka pemain tersebut akan mendapatkan kartu kuning”. Berdasarkan pengertian di atas, jelaslah kartu kuning tidak ada sangkut pautnya dengan performa. Berita yang dilansir Kompas.com pada 14 Agustus 2017 memberitakan Cristiano Ronaldo mencetak gol dan membawa timnya memenangkan pertandingan. Namun dimenit ke-83 Ronaldo diberi “ Kartu Kuning” kedua karena dianggap melakukan diving.
Kembali ke acara Mata Najwa, acara tersebut sangat menyenangkan bila kita telaah dalam berbagai macam sudut pandang. Para presma yang berasal dari ITB, Trisakti, UI, dan IPB menyebutkan kasus-kasus secara spesifik dan menyampaikan aksi nyata BEM mereka terhadap pengambilan kebijakan yang mereka nilai bermasalah, seperti BEM ITB yang menyatakan sudah terjun langsung ke lapangan dalam permasalah kereta api cepat Indonesia-China. BEM UI yang menyebutkan mereka akan berangkat ke Asmat sesegera mungkin bekerja sama dengan NGO dan sudah menggalang dana kemanusiaan serta BEM IPB yang sudah merilis draft usulan mahasiswa IPB terkait rancangan Permenristekdikti mengenai Ormawa. BEM Trisakti juga turut mengkritisi rancangan Permenristekdikti terkait Ormawa walaupun pada acara tersebut tidak secara langsung menyampaikan reaksi yang dilakukan BEM Trisakti.
Presma UGM yang tampil cukup berbeda malam itu. Beberapa kali Presma UGM menyampaikan kritik nya terhadap dunia pendidikan Indonesia yang terasa telah dikomersialisasikan, namun pada saat itu Presma UGM belum menyebutkan secara khusus kasus dan tindak lanjut dari BEM UGM. Presma UGM juga mengklaim sudah mengirim mahasiswa UGM ke Asmat walaupun bukan dari pihak BEM melainkan dari Direktorat Pengabdian Masyarakat UGM. Satu hal yang sangat menarik dan membuat Presma UGM menjadi sorotan yaitu autokritik yang tidak disampaikan oleh Presma lain. Presma UGM menyebutkan mahasiswa seharusnya menjadi Intermediary Actor bagi masyarakat Indonesia yang terbelah. Presma UGM juga menyatakan bila Seseorang mengkritik pemerintah bukan berarti ia anti-pemerintah begitu pun sebaliknya, dan yang membuat mahasiswa mampu melakukannya yaitu rasa kemanusiaan yang dibangun melalui hasil belajar dengan hidup di tengah masyarakat.
Semoga pembaca dapat menilai bagaimana setiap Presma menjelaskan permasalahan yang terjadi. Tentunya sesuai dari substansi acara Mata Najwa yang bertemakan Kartu Kuning Jokowi beserta ketiga tuntutannya. Semoga dari acara Mata Najwa serta tulisan ini membuat masyarakat dapat menemukan konteks dari apa yang sebenarnya dibicarakan serta siapa yang berusaha mengeluarkan pembicaraan ”Kartu Kuning” ini keluar dari konteksnya. Semoga nilai-nilai kebaikan dari setiap aspek kehidupan selalu menaungi Bangsa Indonesia sepanjang hayatnya.
Opini: Khalifardinof
Ed: Tasya
Tambahkan Komentar