Kegiatan yang bertahun-tahun ada, kini terselimuti konflik yang menimbulkan tanda tanya besar bagi sebagian orang. Acara yang seharusnya menjadi kegiatan yang diidam-idamkan mahasiswa untuk bereksplorasi dan mengekspresikan diri, harus diberhentikan dan kekecewaan pun hadir di tengah polemik tersebut.
Koran Kampus IPB berkesempatan untuk mewawancarai Zafran Akhmadery Arif, alumni Aktuaria IPB University yang sekarang berkecimpung sebagai Sekretaris Jenderal Aliansi Persatuan Pelajar Indonesia Luar Negeri (OISAA/PPI Dunia). Menurutnya, manajemen konflik merupakan salah satu hal yang penting dalam berorganisasi.
“Seorang pemimpin itu sudah sepantasnya belajar dan bisa ahli dalam manajemen konflik karena ada banyak sekali konflik di dalam organisasi, terutama kalau misalnya kita berbicara apa yang terjadi di belakangan ini, konflik yang sangat besar dan sebagai pemimpin itu harus bisa menyelesaikan konflik itu secara diplomatis, tidak secara anarkis dan harus diobrolin baik-baik,” tutur Zafran.
Mitigasi suatu konflik sangat penting, seperti meningkatkan keamanan sedari awal dan melakukan himbauan kepada peserta dari atribut-atribut yang bisa mengarah pada konflik. Lebih penting jika sejak awal sudah dikomunikasikan. Seorang pemimpin harus bisa dekat dengan teman-temannya dan seluruh elemen yang ada di bawah kepemimpinannya. Zafran menuturkan, “Jadi bener-bener harus dekat biar merasa semuanya itu teman, semua timnya merasa dia itu teman, orang-orang, peserta merasa dia itu teman, jadi masalah-masalah konflik-konflik yang akan terjadi itu bakal lebih terminimalisir.”
Ketika akhirnya sebuah konflik terjadi, akan ada akibat yang timbul terhadap kegiatan tersebut kedepannya. Tentunya saat ada beberapa oknum yang membuat suatu konflik pada awalnya akan sulit untuk mengidentifikasi siapa yang memulai, siapa yang menyulut api, dan lain sebagainya sehingga perlu dilakukan mitigasi.
Zafran mengatakan, beberapa oknum atau beberapa kelompok bisa dibatasi keikutsertaannya dan harus ada hukuman yang bisa membatasi hal itu, tetapi tidak mengeneralisisasi satu kelompok saja. Misalnya ada sepuluh pertandingan, kelompok tersebut untuk tahun depan hanya bisa ikut lima pertandingan. Pembatasan ini bisa saja menimbulkan konflik baru, sehingga perlu adanya mitigation.
“Rencana mitigasi kedepannya ini dibuat agar gimana caranya supaya kita mau mengkomunikasikan, bagaimana caranya pemimpin itu bisa mengkomunikasikan hal tersebut kepada orang-orang, kepada peserta bahwa karena adanya hal A kami terpaksa harus melakukan hal B. Artinya adanya pembatasan itu tentunya harus dari mana? tentu saja ada persetujuan,” ujar Zafran.
Ketika diwawancara, Zafran juga mengungkapkan, “Tetap perlu ada pendekatan diplomatis di situ. Jadi, jangan serta-merta kita udah yang ini nggak boleh ikut. Perlu ada pembahasan atau mungkin bisa dikumpulkan seluruh elemen, dikumpulkan kira-kira hukuman apa yang setimpal untuk konflik-konflik gini. Jadi, kalau misalnya kedepannya terjadi lagi, sudah ada aturan tertulis bahwa jika ini terjadi otomatis sanksinya bakal begini, gitu. Atau mungkin sekarang udah ada, saya nggak tahu ya. Kalau misalnya sekarang sudah ada, bisa diterapkan langsung. Kalau misalnya belum ada, mohon segera dibikin peraturan itu.”
***
Reporter: Fairuz Zain, Rosita
Ilustrator: Naurah Aiman Hamidah
Editor: Rosita
Tambahkan Komentar