Tolak Rokok, Bukan Berarti Anti Tembakau

Hari Selasa (31/5) diperingati dunia sebagai Hari Tanpa Tembakau. Pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia, yang telah diperingati sejak tahun 1988 ini, dijadikan momen untuk menghimbau para perokok agar tidak menyalakan rokoknya selama satu hari. Peringatan yang dideklarasikan oleh World Health Organization (WHO) kini telah berkembang tidak hanya sebagai hari tanpa merokok, namun juga sebagai dorongan negara anggota WHO untuk membatasi peredaran produk tembakau.

Pada tahun ini, melalui situs who.int, WHO mengusung ide ‘Get Ready for Plain Packaging’ untuk mendukung kampanye tersebut. Ide yang dimaksud adalah dengan membatasi logo, warna, gambar merk, serta penggunaan warna dan gaya huruf standar pada kemasan rokok nanti. Dengan kemasan seperti itu, diyakini dapat mengurangi ketertarikan konsumen terhadap produk tersebut.

Di Indonesia, pada Januari 2016 lalu, adanya usulan DPR RI mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) pertembakauan yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, menyedot perhatian dari banyak pihak. RUU prioritas Prolegnas 2016 ini secara garis besar berisi tentang rencana pembatasan impor tembakau untuk industri rokok hingga maksimal 20%, serta pengenaan cukai tiga kali lipat bagi rokok yang menggunakan tembakau impor.

Sebelumnya, RUU ini ditanggapi negatif oleh beberapa lembaga, seperti Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Alasan yang dikemukakan oleh lembaga tersebut untuk menolak serupa. Mereka menduga bahwa RUU tersebut hanya instrumen bagi produsen rokok untuk tetap eksis, meningkatkan produksi, serta menjerumuskan generasi muda Indonesia pada kebiasaan merokok.

Padahal menurut data Kementrian Kesehatan tahun 2013, jumlah perokok aktif yang merokok setiap hari di Indonesia sudah mencapai angka 48.400.332 jiwa. Dengan jumlah tersebut, apabila diasumsikan harga rokok per bungkus adalah Rp.12.500, maka perokok aktif di Indonesia sudah membakar uangnya untuk rokok sebesar 605 miliar rupiah setiap hari.

Kebiasaan merokok selain memberikan dampak negatif pada kesehatan, dimana 20% angka kematian global dinyatakan sebagai akibat merokok, juga dapat menuntun pada kemisikinan. Kemisikinan tersebut disebabkan penghasilan yang diperoleh sebagian digunakan untuk membeli rokok, bukan digunakan untuk perbaikan kualitas hidup, serta hilangnya produktivitas karena sakit akibat merokok.

Namun, alasan tersebut ditanggapi lain oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR, seperti yang dikutip dari CNN Indonesia (14/10/15), pada saat penyusunan RUU Pertembakuan. Wakil Ketua Baleg DPR, Firman Soebagyo, menyatakan bahwa RUU pertembakauan merupakan kebijakan yang tepat, karena mendukung penggunaan tembakau dalam negeri dan melindungi petani. Hal tersebut diperkuat dengan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2015, yang menyatakan bahwa 98% dari 200 ribu hektar lebih perkebunan tembakau adalah perkebunan milik rakyat dengan jumlah petani yang mencapai lebih dari 527 ribu jiwa. 

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) pun berpendapat bahwa RUU ini malah dapat menghambat kemajuan industri rokok yang banyak menyumbang penghasilan negara. Penghambatan kemajuan industri rokok tersebut dikarenakan jumlah tembakau dalam negeri belum memenuhi secara kualitas dan kuantitas untuk industri rokok. Bahkan bertepatan dengan Hari Tanpa Tembakau sedunia, seperti yang dikutip dari CNN Indonesia (31/5),  Gappri mengirimkan surat kepada Presiden RI, Joko Widodo. Surat tersebut bermaksud mengingatkan akan besarnya penerimaan negara yang berasal dari industri rokok, yakni tak kurang dari 150 triliun rupiah per tahun.

Firra Tania Indrianty

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.