Negeri Seribu Menara

Sekolah itu berada di kaki Pulau Sulawesi. Tepatnya di kabupaten Barru, sekitar 100 km dari kota Makassar. Sebuah pesantren yang sudah lumayan berumur, tapi punya daya tarik dan nilai jual tersendiri bagi masyarakat sekitar. Disitulah bermukim kyaikyai sepuh yang sangat ditakzimi akan keilmuannya. Dari tempat itu pulalah terlahir orang-orang hebat yang tersebar ke berbagai daerah dan terus mengabdi pada negeri. Dan kini, disitu jugalah anak desa ini melanjutkan pendidikan. Atau lebih tepatnya ‘terpaksa’ melanjutkan pendidikan.

Anhar namanya. Badannya jangkung, konon warisan dari ayahnya. Kulitnya agak legam, hasil bermain di sawah sedari kecil. Ia terlahir di lingkungan religius. Ayahnya terhitung sebagai pemuka agama. Saat masih berusia 5 tahun, ia sudah dihadapkan dengan kitab-kitab dan hafalan qur’an. Sayangnya, kebijaksanaan ayahnya tidak ikut menurun pada dirinya. Ia justru lebih terkenal sebagai ‘troublemaker’ di desanya. Fakta itulah yang sukses mengantarkannya ke asrama pesantren ini.

Dan harus ia akui, 3 tahun bermukim disitu tidak berdampak besar baginya. Semua ilmu yang menghambur dari mulut para guru tak ada satupun yang menyangkut di kepalanya. Semuanya nihil. Yang dia ingat hanyalah pengalaman bolos dari kegiatan sekolah, atau upaya melarikan diri dari sekolah yang gagal karena berpapasan dengan guru di tengah jalan. Dan tingkah-tingkah konyol lainnya. Intinya, ia telah sukses menyandang status ‘santri gagal’.

Status yang secara tidak langsung disematkan padanya itu bukannya memotivasinya untuk belajar. Dia justru memilih untuk putus sekolah. Dengan penuh rasa putus asa, ia beranikan dirinya untuk bicara terus-terang pada ayahnya. Dan detikdetik berikutnya berjalan diluar dugaannya. Ayahnya menerima begitu saja, tanpa syarat. Ia sontak kaget. Dalam hati, ia terus bertanya-tanya, “Apakah ayah sudah benarbenar tak menaruh harapan padaku?”

Sejak itu hari-harinya dipenuhi perenungan dan doa. Terbit dalam dirinya rasa penyesalan. Kian hari kian membesar. Hingga seketika ia teringat akan perkataan gurunya, “Nun jauh disana, ada sebuah desa yang terkenal akan banyaknya ahli-ahli baca kitab, kalo kalian bersungguh-sungguh ingin belajar, pergilah ke sana”. Diambilnya secarik kertas, lalu dengan perasaan mantap ia tuliskan nama desa tujuannya itu besar-besar : “Campalagian”.

Setelah meminta izin dan restu orang tua, berangkatlah ia ke desa Campalagian dengan satu niat kuat : “Membayar kesalahan masa lalu”. Semua ilmu yang harusnya ia dapat selama di pesantren, haruslah ia raih disini. Tak ada lagi Anhar yang pemalas. Tak ada lagi Anhar yang bodoh. Tak ada lagi Anhar yang mengecewakan. Itulah tekadnya. Secara perlahan-lahan, ia mulai bertransformasi. Dilahapnya kitab-kitab satu per satu. Ia berpindah dari satu guru ke guru lainnya. Tanpa ia sadari, ia telah bermetamorfosis. Dari tak tahu apa-apa tentang bahasa arab, hingga kini bunga tidurnya pun berbahasa arab.

Tak terasa waktu 2 tahun telah ia tempuh di desa tersebut. Dengan niat kuat dan kerja kerasnya, ia telah berhasil melawan kemalasannya dan meruntuhkan kebodohannya. There’s no impossible thing. Tapi, ia tidak mau berhenti sampai disitu. Kini ia berusaha menaiki anak tangga kedua. Universitas tertua, Al-Azhar. Mesir.
“Pak. Saya mau lanjut sekolah” tegasnya melalui telpon.
“Alhamdulillah” Kabar itu disambut bahagia oleh seisi rumahnya, terutama sang
Ayah. “ “Mau sekolah dimana nak?”
“Al-Azhar, Mesir”
“Tapi kau kan belum punya ijazah?”
“Saya mau masuk pesantren dekat sini pak. Kejar ijazah SMA selama setahun
biar bisa mendaftar ke negeri piramida itu”
“Yakin kau?”
Anhar tersenyum semringah. Ia menarik napas panjang.
“Yakin, pak. Dengan doa dan kerja keras saya yakin semua bisa. Tuhan maha
melihat. Dan satu lagi hal yang penting, restu bapak dan ibu”
Senyum ayahnya semakin lebar.
“Berangkatlah kau, nak. Kami selalu mendoakan yang terbaik untukmu”

Dan keyakinan itulah yang kini mengantarkannya ke tempat ini. Di negeri 1000  menara. Di Bandara Intenasional Kairo. Sedang menangis dalam sujud.

M. Firman

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.