“APA? Gua gak salah denger?” tanyaku kaget setelah mendengar pernyataan teman sekelasku. Bagaimana tidak, aku baru pertama kali menemukan seorang teman yang tidak pernah merasakan udara malam bersama teman-teman sebayanya. Jelas itu bertolak belakang dengan kebiasaanku. Keluar bersama teman-teman di malam hari, menghabiskan waktu di bawah langit malam dan merasakan dinginnya angin malam, entah untuk menyelesaikan kewajiban sebagai pelajar atau sekadar menghilangkan penat bersama dari kejamnya dunia.
“Kedengarannya aneh, ya?” tanya Aliya ragu-ragu.
“Ya sedikit,” jawabku sambil tertawa dan menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.
“Selama gua sekolah, gua cuman sekolah-les-pulang gitu terus tiap hari. Belajar bareng paling cuman lewat call atau waktu di tempat les. Jarang banget bisa cabut. Paling cabutnya pas weekend, itu pun sampai sore doang,” tutur temanku, Aliya.
Aku hanya menatap dan mendengarkan setiap rangkaian katanya. Merasa iba dengan kehidupan remajanya yang terlalu monoton menurut pandanganku. Sedetik kemudian raut wajahku berubah. Senyum tipis tergores jelas di mukaku dengan sebuah ide di otak yang tidak dapat dibaca oleh Aliya.
Melihat perubahan air mukaku, Aliya tampang kebingungan. Keningnya langsung mengerut dan menatapku curiga. Sambil tertawa tipis aku berkata, “nge-jamal yuk”. Ucapanku membuat mulut Aliya yang awalnya rapat menjadi terbuka lebar. Matanya kini melotot. Jelas dia kaget dengan ucapanku barusan.
“Lu belum pernah keluar sampai di atas jam 9 kan? Nah, kita malam ini nge-jamal aja, cabut ke McD kerjain tugas ini. Gimana?” Tak lupa di akhir kalimat, aku sambil menaik-naikan kedua alis.
“Leo, lu yakin?” tanyanya ragu.
“Kalau gak dicoba, kita gak bakal tau hasilnya. Keluar malem-malem seru kali. Ya masa orang seumuran lu belum pernah keluar malem,” jawabku enteng. Menunggu jawaban yang tak kunjung muncul, tidak membuatku putus asa.
“Tapi gua takut. Kalau kita nge-jamal berarti pulang ke asramanya subuh, lu gak takut apa? Kampus kita kan katanya banyak itunya,” lontar Aliya masih tidak yakin dengan ideku.
“Itu apa? Setan? Kenapa harus takut? Lagi pula mana ada sih, setan di sini. Itu mitos doang ya, gak perlu dipercaya.” Pertanyaannya membuatku tergelitik. Ternyata banyak mahasiswa yang percaya mengenai hal itu.
“Lu gak mau mati penasaran kan? HAHAHA,” tanyaku bercanda meyakinkannya untuk menyetujui ideku. Aliya tetap berpikir keras. Aku tak dapat memaksanya. Segala keputusan ada di tangannya.
“Gas.” Hanya kata itu yang diucapkannya dengan bersemangat. Melihatnya seperti anak kecil yang akhirnya bisa mendapatkan hadiah yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama, membuatku tertawa.
Jarum jam berlari tak mengenal penghalang. Matahari perlahan bergerak, bersiap berganti peran oleh sang bulan. Satu demi satu kelas selesai diikuti, tetapi tugas tidak lupa menghampiri. Rasa lelah mulai menyelimuti para mahasiswa yang berhamburan keluar. Selekasnya kembali ke asrama, aku bersiap dan menuju tempat janjian yang telah aku dan Aliya sepakati sebelum kami berangkat nge-jamal.
“Udah bawa semua bahan-bahan buat kerjain tugasnya kan?” Pertanyaan pertama yang langsung dilontarkan Aliya saat batang hidungku dilihatnya.
“Udah, tenang aja semua tugas-tugas gua bawa kok.”
Malam bergerak perlahan. Di tengah hiruk pikuk kota dan keramaian, kami berdua sibuk mengerjakan satu per satu tugas-tugas kami. Tidak seserius itu. Canda dan tawa banyak mengisi malam kami. Hingga jarum jam menunjukkan pukul tiga pagi. Tiba waktunya kami untuk kembali ke asrama.
Transportasi online yang kami pesan mengantarkan kami hingga ke asrama putri dengan selamat. Sebagai laki-laki dan teman yang baik, aku pastikan Aliya masuk ke asramanya terlebih dahulu, baru aku melanjutkan perjalananku ke asrama putra.
“Leo,” panggil Aliya pelan. Aku pun menolehnya dengan tatapan seakan menjawab panggilannya. “Thanks ya udah ajak gua nge-jamal,” kata Aliya padaku.
“Sama-sama. Akhirnya temen gua gak bakal mati penasaran. HAHAHA,” jawabku sambil bercanda. Setelah memastikan Aliya masuk ke asramanya. Aku mulai berjalan ke asramaku.
Sekitar pukul 03.00 WIB. Gelap masih menyelimuti. Tak ada satupun suara manusia memenuhi sekitar. Hanya suara alam di malam hari yang terdengar. Kendaraan juga tidak ada yang melewati langkahku. Aku hanya seorang diri dan berjalan santai.
Samar-samar aku mendengar suara. Entah suara dari mana. Aku tidak peduli. “Dasar kucing kawin,” gumamku. Aku tetap berjalan dengan hening.
Melewati gedung perkuliahanku yang dikenal dengan Gedung CCR. Suara itu masih terdengar di telingaku. Sambil tidak menghentikan langkahku, aku mencoba mendengar suara yang sejak tadi menemani langkahku. Seketika aku sadar. Ini bukannya suara kucing atau hewan lainnya.
Tangisan perempuan. Ya, ini sangat jelas suara tangisan. Namun, siapa perempuan yang menangis sekencang ini di tengah sunyinya malam. Bahkan hingga terdengar di tempat ini. Hanya ada Gedung CCR dan Gedung Teaching Lab saat ini di sekitarku. Oh, dan pepohonan di sekitar gedung dan sekitar jalan yang aku lalui. Bulu-buluku mulai berdiri, angin malam kini terasa lebih dingin dari sebelumnya.
“Jangan bercanda. Ini halusinasi lu doang, Le. Gak ada siapa-siapa disini selain lu, inget itu,” kataku dalam hati. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri, tetapi seperti nihil. Jalan yang aku lalui, kini sangatlah gelap. Tidak ada lampu sama sekali yang menerangi jalanku. Hanya kegelapan yang dapat aku lihat. Aku tetap tidak menghentikan langkahku saat melalui parkiran Menwa Fahutan.
Perlahan suara tangisan tersebut mengecil. Teringat di benakku akan suatu mitos. Mitosnya, ketika “suara” mengecil, maka artinya “dia” semakin dekat dengan kita. Jantungku mulai berdebar. Keringatan perlahan keluar dari pori-pori kulitku. Menurutku, keadaan ini semakin tidak beres. Aku yang jarang sekali berdoa, berusaha berdoa sambil terus berjalan.
Aneh sekali. Lidahku menjadi kelu saat aku tengah berdoa, tidak dapat aku lanjutkan doaku. Ketakutan semakin besar dalam diriku. Badanku bergetar. Menoleh sedikitpun aku tidak berani. Rasanya kepala ini berat untuk diputar. Tidak ada tanda-tanda manusia lain selain diriku disini. Langkah kaki kupercepat.
Saat ini banyak pohon bambu yang ada di pinggir jalanku. Namun suara itu tetap seakan berada di sekitarku. Bulu kudukku masih setia berdiri. “Oh God, cobaan apa ini?” ujarku dalam hati.
Setelah hampir sampai asrama, suara itu seketika hilang. Tidak ada lagi suara tangisan perempuan yang tertangkap gendang telingaku. Aku terus berjalan dengan terburu-buru ke kamar asramaku. Aku ingin dalam keramaian. Sesampainya dalam kamar, aku langsung menenangkan diriku. Menyimpan semua ingatan mengenai kejadian itu sendiri.
Besok harinya, setelah selesai aku melakukan kegiatan di gedung FMIPA, seperti biasa aku dan teman-temanku berjalan bersama ke asrama. Suasana sekitar sudah gelap karena waktu sudah pukul 20.00 WIB. Pertama, kami mengantarkan teman-teman kami yang putri ke asramanya. Lekas itu, barulah kami yang putra berjalan bersama menuju asrama kami dengan ditemani oleh kakak-kakak tingkat kami.
Kami berjalan melalui jalan yang dua hari lalu aku lalui sendiri. Di perjalanan, aku dan salah satu kakak tingkatku berjalan di bagian belakang. Kami berbincang mengenai kehidupan kami. Tidak ada yang aneh sejak kami meninggalkan daerah asrama putri. Hingga akhirnya aku mendengar bunyi langkah kaki seseorang di belakangku.
“Tap… tap… tap…,” bunyi suara kaki jelas terdengar. Suara tangisan dua hari lalu terbayang di ingatanku. Tidak, tidak lagi. Mungkin aku kembali berhalusinasi. Jelas-jelas aku berjalan di paling belakang. Tidak ada orang di belakangku.
Suara itu berusaha untuk aku abaikan. Aku tidak ingin membuat teman-temanku ketakutan. Sebisa mungkin aku membuat gerak-gerikku seperti tidak terjadi apa-apa. Tetap berbincang dengan rasa nyaman yang aku buat.
Kami melalui parkiran Menwa Fahutan yang gelap itu. Tidak ada pencahayaan dari lampu jalan. Hanya kami, semilir angin malam, dan suara langkah kaki di belakangku yang mengisi kegelapan ini.
“Kok hilang?” tanya Kak Yanti, kakak tingkat temanku berbincang sejak tadi, tiba-tiba.
“Apanya yang hilang kak?” tanyaku ragu.
“Suara kaki orang di belakang kita,” jawab Kak Yanti dengan volume suara yang lebih kecil.
“Kakak denger juga?” tanyaku kaget.
“Lah lu denger juga, Le?” Kak Yanti balik bertanya padaku. Hanya anggukan yang aku berikan. Sedetik aku tersentak karena tanganku ditarik oleh Kak Yanti. Dengan cepat kami menyusul teman-teman kami yang berada di depan.
Sampai di asrama, jantungku masih berdebar kencang.
“Tadi dari asrama putri suaranya gak ada kan, Le?” bisik Kak Yanti.
“Enggak, Kak. Baru ada di tengah jalan.”
“Berarti kita denger sesuatu yang sama,” balas Kak Yanti.
Aku menyusuri lorong asramaku sambil terdiam. Otakku berputar mencerna semuanya. Tidak aku sangka sudah dua kali aku terteror dalam waktu dekat ini. Aku buka pintu kamarku pelan.
“Le, kenapa lu?” tanya teman sekamarku, Budi.
Aku menggelengkan kepala terus berjalan dan duduk di kasurku. Tatapanku kosong. Teringat bahwa teman sekamarku memiliki indra keenam. “Bud,” panggilku. Budi yang sedari tadi melihatku hanya menjawab, “Hmm.”
“Tau sesuatu depan Teaching Lab? Sesuatu yang mungkin lu bisa liat, tapi gua enggak,” tanyaku padanya.
“Kenapa?” tanya Budi memintaku untuk bercerita. Semua teror itu aku ceritakan. Kejadian dua hari lalu dan hari ini. Budi hanya mendengarkan dengan saksama.
Setelah aku mengakhiri kalimatku, Budi menjawab “Di sana memang ada…” gantung Budi. Aku hanya menatapnya, menunggu lanjutan kalimatnya. “Seorang gadis yang sering ada di jalan daerah Teaching Lab, CCR, sama Menwa Fahutan. Gua pernah ngeliat juga….”
Kembali Budi menggantung kalimatnya, tetapi tidak mungkin aku memaksanya terburu-buru. Pasti sulit baginya untuk menjelaskan hal itu padaku. Aku hanya perlu bersabar. Terus aku tatap wajahnya.
“Percaya atau enggak, di kampus ini banyak, Le,” jelas Budi padaku.
Aku langsung beranjak dari posisiku. Membersihkan badanku dan mencerna semua kejadian serta penjelasan Budi. Aku tidak mau tahu lebih dalam. Tidak lagi aku meremehkan tempat-tempat di sekitarku. Sekarang aku percaya, makhluk yang berbeda dunia denganku, yang biasa disebut setan, ada di sekitarku. Ya aku percaya.
Penulis: Tersia Ralesmanti Innocensia
Fotografer: Fadhillah Khoirunnissa Wibowo (Diedit oleh: Ikfanny Alfi Muhibbah Shalihah)
Editor: Ikfanny Alfi Muhibbah Shalihah
Alur ceritanya menarik. Mungkin tokohnya perlu diperjelas: Yanti, kok ke Asrama Putra?