[Sastra] Cerita dari Sebatang Pohon

Masa depan selalu menjadi rahasia yang akan diungkap oleh waktu kebenarannya.

Tepat saat kau dan aku menanam pohon itu kita tidak pernah akan tahu setua apa dia akan berdiri, sebesar apa dia, dan akan tumbuhkah dia? Bahkan dia tidak tahu dua orang anak kecil yang menanamnya dulu, kini menjadi sepasang kekasih.

Pohon itu kini menjadi ikon ruang terbuka hijau di kota kit. Tumbuh menjadi pohon yang besar dan rindang menyaingi gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya. Mungkin itu sebabnya kau bilang ingin melaksanakan pertunangan di bawah pohon itu. Mungkin terkesan aneh karena kita bisa saja menyewa gedung besar dan mewah lengkap dengan pelayan yang berdasi. Tapi aku mengerti pohon itu adalah pohon yang tumbuh bersama usia, kenangan, dan cinta kita.

Kadang aku heran kenapa kau begitu suka terhadap tumbuhan. Sampai kau harus kuliah di jurusan konservasi hutan dan ekowisata. Padahal kau adalah penyair yang berbakat menurutku. Masih teringat di ingatanku. Pada suatu minggu kita berdua di bawah pohon itu. Lalu kau membacakan aku sebuah puisi.

Ia akan tumbuh selamanya,kau meyakini itu

Karena menyadari betapa teduh rimbun daun yang tak gugur-gugur meski kemarau

Sebatang pohon di seberang jalan bukan milik burung karena sangkar mudah di bongkar angina

Ia akan tumbuh selamanya seperti cinta

Yang diam-diam kau ukir di sebuah sisi tersembunyi

Dengan nama kita, milik kita

(Pringadi Abdi Surya)

Aku tersenyum sambil berimajinasi, anak-anakku pasti akan bahagia setiap harinya karena punya mama yang akan membacakan mereka puisi indah setiap pagi. Mungkin berlebihan tapi begitulah harapan seorang laki-laki kepada kekasihnya.

Hari ini aku datang ke tempat pengelolaan taman itu. Meminta izin untuk hari bahagia kita. Tapi apa yang mereka katakan sungguh tak bisa kupercaya, ini menyakitiku terlebih untukmu. Mereka bilang seorang pengusaha telah membeli taman itu. Sebulan lagi taman akan diratakan. Aku hanya terdiam dan menanyakan sekali lagi. Apa ini benar terjadi, pohon yang selama ini menaungi orang-orang, yang selama ini menemani kisah cinta kita akan begitu saja mereka robohkan. Tergantikan oleh pencakar langit baru yang semakin memanaskan bumi akan berdiri lagi dari reruntuhan yang kau, aku, dan mereka tidak inginkan. Aku sungguh tidak bisa menerimanya. Terlebih aku harus memikirkan cara untuk memberitahumu karena aku tahu engkau pasti tidak bisa menerimanya.

Benar saja setelah aku katakan padamu. Kau seperti orang yang kehilangan rumah yang terbakar. Seakan tidak percaya, kau bilang ingin menanyakannya sendiri. Padahal aku yang memberitahumu, orang yang selama ini kau percaya. Mungkin ini membuatmu benar-benar terpukul sampai setiap pagi datang untuk menyebarkan poster dan melakukan semua hal yang kau pikir akan membuat pohon itu tetap berdiri tegak. Beberapa orang mendukungmu tapi lebih banyak yang tidak perduli. Aku sudah menasihatimu untuk menghentikan semua ini. Kita bisa melakukan pertunangan di tempat lain. Terlebih lagi ketakutanku, kau sedang berurusan dengan oknum-oknum yang tidak bersahabat. Bulan lalu mereka meruntuhkan sebuah sekolah tanpa peduli apapun. Aku sudah memberitahumu, tapi kau bilang aku egois dan tidak mau memperjuangkan kenangan kita.

Aku sudah tidak tau harus berkata apa padamu. Seolah kau lupa dengan pertunangan kita. Hari-hari mu hanya untuk pohon itu. Aku belum mengerti kenapa kau sangat memperjuangkannya. Aku khawatir padamu yang terus meneriakan pohon itu. Apalagi kau bilang hari ini akan menemui mereka para kontraktor dan pembeli proyek. Aku sudah melarangmu tapi kau bersikeras bahkan memintaku ikut. Aku tidak bias. Aku sudah bosan dengan sifat keras kepalamu. Kau seorang aktivitis menghadapi orang-orang yang licik dan menghalalkan segala cara. Kau membantahku dan menceramahiku. Kita bertengkar hebat dan aku membiarkanmu pergi sendiri.

Tidak ku sangka hari itu akan menjadi hari yang paling kusesali seumur hidupku. Ketika satu hal yang tidak pernah ingin aku dengar harus kudengar. Telpon berdering dan seorang polisi menanyakan apa aku adalah kekasihmu. Seketika aku mulai gusar dan mataku memerah. Terlebih ketika dia bilang seseorang menabrakmu dan kabur begitu saja. Saat itu aku hancur dan tidak bisa percaya, mereka pasti bercanda tapi mereka bilang berulang kali aku harus menerimanya . Aku pergi ke tempat engkau dirawat, tapi mereka bilang apa? Mereka bilang kau sudah tiada. Aku tidak bisa berucap apa-apa seketika aku lumpuh dan tidak berdaya.

Hujan malam ini membangunkanku dari kisah pedih sore yang lalu. Orang yang menabrakmu telah ditemukan. Mereka mengaku suruhan dari orang yang akan meratakan taman kita. Proyek dibatalkan. Aku senang perjuanganmu terbayarkan tapi mengingatmu hanya membuat aku menangis. Seandainya dulu aku tidak membiarkanmu pergi.

Kau berhasil menyelamatkan pohon itu, meski kali ini tidak ada kau lagi disana. Aku masih setiap pagi datang kesana mengingat dirimu, puisimu, dan semua imajinasi kita tentang anak-anak kita yang berlarian di bawah pohon itu. Semua tentang perjuangan untuk sebatang pohon, kutuliskan di setiap kata dari buku yang sedang aku tulis. Sebuah kapsul waktu yang akan menceritakan betapa penting sebuah pohon untuk beberapa orang, seberapa pentingnya menjaga lingkungan, seberapa penting sebuah perjuangan. Buku ini kudedikasikan untukmu, bagaikan surat darimu untuk generasi setelahmu agar terus mempertahankan lingkungan meski hanya satu pohon.

Buku itu kini terpampang di rak buku-buku yang terjual laris di pasaran. Aku masih mengingatmu ketika dulu menertawakanku saat aku ajak ke toko buku ini. Kubilang, aku akan menulis sebuah buku dan kita akan membelinya disini. Hari ini aku datang lagi, membeli buku ini tapi tidak bersama mu.

Sebuah buku yang berjudul ‘Cerita dari Sebatang Pohon’.

Penulis: Azwar

Redaksi Koran Kampus

Redaksi Koran Kampus

Lembaga Pers Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor

Tambahkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.