Fenomena second account atau akun kedua bagi kalangan Gen Z tampaknya semakin marak dan cukup menyita perhatian. Berbeda dengan akun pertama yang cenderung lebih formal dan menunjukkan citra diri yang baik, akun kedua digunakan sebagai media untuk berekspresi secara bebas tanpa adanya batasan sosial atau rasa tidak nyaman.
Hal ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh TT, seorang mahasiswa Gen Z yang memiliki second account pada Senin, 28 Oktober 2024. Ia menggunakan second account untuk berinteraksi dengan orang-orang yang ia kenal dan cukup dekat, serta di second account ia merasa lebih bebas untuk memposting apapun.
Yunikawati et al. (2024), dalam penelitiannya terkait personal branding dan identitas diri remaja, menjelaskan bahwa akun pertama di Instagram umumnya digunakan oleh Gen Z sebagai sarana untuk membangun personal branding dengan mempertimbangkan persepsi orang lain, sedangkan akun kedua digunakan untuk membangun personal branding yang lebih bebas.
Fenomena ini dapat terjadi karena beberapa alasan yang juga memiliki dampak positif dan negatif bagi perkembangan psikologis Gen Z, mulai dari menjaga privasi, menghindari ketidaknyamanan publik pada akun pertama, hingga melarikan diri dari tekanan untuk menciptakan citra yang sempurna di media sosial. Oleh karena itu, biasanya Gen Z lebih selektif dalam bertukar akun kedua sehingga jumlah pengikutnya pun cenderung lebih sedikit dari akun pertama.
Artikel Jawapos menyoroti bahwa fenomena akun kedua mencerminkan kompleksitas identitas yang dialami oleh Gen Z. Akun kedua menjadi ruang bebas bagi individu untuk mengekspresikan aspek-aspek identitasnya yang pada hakikatnya tidak terlihat dalam akun.
NC seorang mahasiswa gen Z mengatakan pada Senin, 28 Oktober 2024, bahwa dengan adanya second account bisa membuat orang dapat menceritakan kesehariannya tanpa rasa malu. Fenomena ini muncul sebagai akibat dari tekanan digital dan perubahan sosial yang dialami Gen Z.
Namun, beberapa artikel lain termasuk Indozone Health menyatakan bahwa kehadiran akun kedua ini mungkin mencerminkan gejala depresi atau masalah kesehatan mental lainnya. Para ahli menjelaskan bahwa akun sekunder bukan sekadar tren, tetapi bisa menjadi pertanda adanya masalah kesehatan mental yang perlu mendapat perhatian, seperti depresi.
Dilansir dari Kompas.com, menurut Pakar Psikologi dan Perkembangan Anak Universitas Airlangga, Prof. Nurul Hartini, memiliki lebih dari satu akun di media sosial menjadi faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan mental para Gen Z, karena sebagian besar mereka tidak ingin menampakkan jati diri aslinya di media sosial. Prof. Nurul menilai bahwa fenomena ini justru menunjukkan kepribadian yang kurang sehat. Ibaratnya, dalam media sosial, para gen Z harus memakai banyak topeng layaknya bermain peran.
Penelitian studi kuantitatif Wulan et al. (2024) memaparkan bahwa terdapat keterkaitan antara harga diri dengan pengungkapan diri atau self-disclosure. Pengungkapan pada akun kedua dinilai mempunyai dampak yang lebih kecil, yaitu sekitar 11,8%. Harga diri yang tinggi mendorong individu untuk lebih terbuka dalam menyampaikan perasaan dan pemikiran, sementara harga diri yang rendah cenderung menghambat proses pengungkapan diri.
***
Reporter: Putri Elsa Amelia S, Fiqih Adita F, Syifa Shabreena, Rahma Ambara, Nazwa Ardelya Putri
Editor: Rosita
Ilustrator: Anggi Malika
Tambahkan Komentar